Bagiku tidak ada yang
indah kecuali melihat jutaan bintang yang bertaburan di hamparan awan malam
yang hitam, dan semua itu akan terlihat lebih indah bila bulan purnama
menyinari malam seperti layaknya matahari menyinari siang hari. Ku ambil gitar
ku, dan duduk di kursi teras depan rumah dengan secangkir kopi hangat buatan
ibu, anjingku molly yang setia, juga ikut duduk dikursi samping tempatku duduk
sambil mengibas ngibaskan ekornya dan menatapku, seolah olah dia tau apa yang
ku pikirkan dan kurasakan saat ini. Aku mulai memainkan jemariku, memetik
setiap senar gitar dan memainkan melodi dari nada ke nada. Mungkin cuma ini
keseharian yang bisa ku lakukan, aku hanya bisa menunggu datangnya kelulusan
dan bersiap untuk pergi meninggalkan kota Lampung yang tercinta ini. Setiap
sudut jalan, setiap gang, setiap perempatan, setiap pertigaan, setiap rumah,
setiap tempat disini, memiliki kenangan dan cerita tersendiri untukku, entah
itu ketika aku sedih atau senang, pahit atau manis, suka atau duka ini lah kotaku, kota yang menyimpan berbagai
cerita dari aku lahir hingga saat ini aku berumur 17 tahun. Berbagai cerita
telah terukir disini, di kota ini, terlebih lagi cerita tentang cinta. Ya…
C-I-N-T-A . Setiap orang pasti memiliki cerita cinta di kotanya masing masing,
termasuk aku. Rekaman cerita cinta itu seakan akan kembali berputar ketika aku
melewati tempat tempat yang dulu nya pernah menjadi tempatku mengukir sebuah
kenangan indah bersama orang yang aku cintai. Namun itu hanyalah kenangan,yang tak
harus dilupakan, cukup dikenang sebagai cerita indah yang setidaknya pernah ku
lalui dan kurasakan dikehidupan ini. Malam ini mendung, dinginnya angin malam
cukup membelai lembut seluruh kulitku hingga aku merasa dingin dan merinding.
Sesekali aku menyeruput kopi hangat ku lalu kembali memainkan jemariku dengan
gitar itu. Angin malam ini membuat ranting ranting pohon saling bergesekan, menimbulkan
suara gusruh hingga aku pun dapat merasakan suara dedaunan itu tampak seolah
menari nari bersama desah angin yang berhembus malam itu. Aku masuk kemarku
lalu merebahkan seluruh badanku di atas kasur kamarku sambil menatap langit
langit kamar dengan pandangan kosong. Bulan ini bulan Desember, 7 hari lagi
sudah hari Natal dan aku belum memasang pohon evergreen beserta lampu lampunya.
Biasanya setiap bulan Desember ayahku selalu mengajakku untuk menghias pohon
natal dan menancapkan hiasan bintang yang berwarna emas di ujung pohon
evergreen, tapi untuk sekarang, aku menghias pohon natal itu tanpa ayahku.
Hanya ada sebuah kartu ucapan Natal berwarana merah, dengan gambar Santa Claus
sedang memberikan kado kepada seorang anak perempuan dan didalamnya bertuliskan
:
“Selamat Natal, Merry Christmas anakku, maaf ayah tidak merayakan Natal
tahun ini bersama anak anak ayah. Tapi ayah yakin, anak perempuan ayah yang
satu ini pasti bisa berfikir dewasa. Jadikan natalmu tahun ini lebih bermakana
dari pada baju barumu nak.. “
Ketika aku membacanya, aku tak dapat lagi membendung
air mataku yang perlahan mulai menetes dari pelupuk mataku, kartu ucapan itu
dikirim 2 hari yang lalu bersamaan dengan sebuah bingkisan berupa boneka Santa
Claus dan sebuah kalung perak. Tiap kali aku melihat boneka Santa Claus itu,
entah mengapa mataku selalu saja berkaca kaca, dan lagi lagi aku harus menahan
air mata. Aku berusaha tak mengingatnya, dan mencoba meraba meraba kasurku dan
mencari cari handphoneku yang sejak tadi pagi sama sekali belum ku sentuh
sedikitpun, namun mataku terpaku pada sebuah kado yang berbentuk kotak persegi
panjang, dibalut dengan kertas tisu warna biru dan dihiasi dengan pita putih
keemasan. Aku terpaku menatap benda biru yang tergeletak di atas meja belajarku
itu, seolah ada ingatan yang selalu saja muncul dibenakku ketika aku melihat
benda biru itu. Itu adalah hadiah terakhirku untuk kak Julius, orang yang
kusayangi dan sudah satu bulan ini dia pergi meninggalkanku ke Bandung untuk
mengejar mimpi yang telah ia gantungkan tinggi. Aku hanya sekedar mengaguminya
saja, tapi entah mengapa seiring dengan berjalannya waktu, rasa kagum itu tak
lagi ku rasakan, yang ada hanyalah rasa cemburu ketika aku tau dia begitu dekat
dengan teman sekelasku. Bukankah rasa cemburu itu tanda cinta?? Apa rasa kagum
itu berubah menjadi cinta?? Entahlah.. yang jelas, aku ingin memberinya kenang
– kenangan sembari menatap matanya untuk yang terahir kali, tapi belum sempat
aku memberinya hadiah kala itu, dia sudah terlebih dahulu pergi tanpa ada kata
kata atau ucapan perpisahan. Tapi aku yakin suatu saat nanti, entah kapan pun
itu, dia pasti kembali ke kota ini, dan saat itu lah, aku memberikan hadiah
itu. Sampai kapan pun itu, berapa tahun pun itu, aku akan tetap menunggu sampai
dia kembali. Itu lah penantian.
Pagi ini aku berangkat
sekolah lebih pagi dari hari hari biasanya, karena setiap Senin adalah jadwal
piketku, aku pun harus bisa melaksanakan tanggung jawabku sebagai siswa yang
baik. Yaa.. berangkat lebih pagi dan menyapu seluruh halaman kelas adalah salah
satu contoh pelaksanaan tanggung jawab yang sederhana. Jarak rumah dan
sekolahku tidak terlalu jauh, cukup berjalan kaki dengan menghabiskan waktu 15
menit pun aku sudah sampai disekolah. Lebih hemat biaya, tanpa polusi, dan
menambah kesehatan tulang dan otot otot tentunya. Setiap pagi aku memang sudah
terbiasa berangkat sendirian, berjalan sendiri dan terkadang aku bicara sendiri
dengan burung burung yang seakan menyapaku dengan siulannya. Aku berharap aku
punya teman disetiap aku berjalan sendirian. Namun orang – orang disekitarku
seolah malah menjauhiku. Kata mereka aku ini aneh. Entah sampai kapan aku sendiri
disetiap aku berjalan pergi dan kembali. Yang jelas aku juga lelah menyendiri
dan sendiri. Pagi ini embun pagi begitu pekat, mungkin karena hujan semalam.
Tiap tiap gang kecil diperumahan tempat tinggalku, ditutupi embun yang tebal
hingga pengelihatanku pun jadi agak samar. Rumput, dan dedaunan pohon pun
terlihat basah dibasahai embun pagi. Ada sebuah jembatan gantung disekitar
perumahanku yang menjadi tempatku singgah mengisi semua ceritaku, namanya
jembatan Singo rajo, letaknya tak jauh dari rumahku, terletak persis di sebelah
barat perempatan gangku. Sebuah jembatan gantung dengan sebuah sungai yang
lumayan besar dan gemericik air yang begitu bening dan natural untuk kudengar.
Tempat ini jarang sekali terjamah oleh orang orang disekitar sini, karena tempatnya
yang jauh dan terpencil. Mungkin hanya aku dan kakek kakek pencari rumput yang
sering berkunjung kemari Aku rasa
matahari pagi ini sudah cukup tinggi, tapi embunnya masih saja menghalangi
pandanganku. Kota Lampung yang masih tergolong sebagai daerah madya memang
berbeda jauh dengan kota Jakarta yang setiap hari macet 24 jam. Jam segini,
jalanan Lampung masih sepi, hanya ada angkot angkot yang biasanya mengantarkan
anak anak sekolah yang memadati jalanan setiap paginya. Selebihnya, jalanan
Lampung disini jarang sekali macet, karena Lampung adalah daerah lintas. Jadi
jarang sekali macet. Tidak jauh berbeda dengan Bandung, suasananya masih
natural dan sedikit sekali ada gedung gedung tiggi yang berdiri hingga
menjulang ke langit seperti di Ibu kota Jakarta. Inilah pengelihatanku setiap
pagi. Berjalan sendiri dengan embun pagi dan sedikit suara lalu lintas.
“Pak
Yadi… udah bangun toh? “ tanya ku kepada pak penjaga sekolah separuh baya yang
sedang mendorong gerobak sorongnya sambil memungut bekas botol botol minuman
yang berceceran di lingkungan sekolah. Pak Yadi hanya tersenyum sambil terus
fokus mendorong gerobak sorongnya. Sepertinya aku adalah orang pertama yang
datang kesekolah hari ini, benar benar sepi dan hening, hanya ada aku dan pak
Yadi, dengan suasana pagi yang masih dibalut sejuknya embun pagi bersama
hangatnya sinar matahari. Aku menyempatkan waktu untuk duduk sejenak dan
menatap sudut sudut ruangan, dan setiap koridor yang ada di deretan kelas 1
sampai kelas 3. Disana banyak kenangan mereka, teman teman ku, dan aku. Mereka
tertawa disana, menagis disana, bercanda disana. Sekolah ku pun mengukir banyak
kenangan indah di dalam hidupku. Dan 3 bulan lagi, aku akan meninggalkan
sekolah ini dan kota ini. Sungguh indah bila aku kenang semuanya. Aku tidak
bisa membayangkan bagaimana jika nanti aku benar benar pergi dari kota
Lampungku ini, pasti aku akan merindukan masa ketika aku dan teman temanku
mengikuti ekstrakulikuler menari tarian “Sigeh Penguten” (tarian adat lampung)
dengan hiasan mahkota siger seperti yang ada pada lambang kota Lampung yang
dipasang atas dikepala serta Sesapur dan kain tapis berwarna keemasan sebagai
baju khasnya.
“Rin..”
sesorang menepuk bahuku dari belakang. Aku yang sedang asik mengenang masalalu
pun menoleh ke arah datangnya suara.
“Eh, Eka tumben berangkat pagi” Tanyaku
“Kan mau piket” jawabnya sembari duduk disampingku
seolah dia ingin ikut terbanag ke putaran masa lalu yang kubayangkan.
Tanpa mengulur waktu, aku langsung menarik
tangannya, dan mengajaknya untuk segera menyelesaikan tugas piket hari ini
secepatnya, karna setiap senin adalah hari wajib untuk melaksanakan upacara
bendera, jadi waktunya akan lebih sedikit untuk kami melaksanakan tugas piket.
Segera saja ku arahkan sapuku ke kolong kolong meja dan dibawah bawah kursi di
tempat duduk paling pojok, paling kanan, dan paling belakang. Ya, tempat duduk
nya Ari alias Sumurung Made Ari Nadeak, si pria batak yang berjabatan sebagai
ketua kelas di kelas ku, dan terkenal sebagai siswa yang paling gokil se-antero.
Ketika aku sibuk mengobrak abrik seluruh lacinya, aku melihat sebuah kertas
berwarana pink dengan bentuk menyerupai bentuk hati. Aku mengambil kertas itu
dan membaca tulisan yang ada didalam kertas itu..
“Ketika kamu tersenyum ketika itulah aku
terluka. Terluka karna perjuanganku untuk memiliki senyum itu hanyalah sia sia”
Aku membacanya dan terdiam sejenak, berfikir keras
tentang makna dari kelimat sederhana yang ia tulis menggunakan tinta merah itu.
Dari tulisan itu, tertulis jelas perasaan hatinya, yang walaupun hanya tersurat
melalui tulisan sederhana, namun aku tahu benar perasaannya yang hancur karna
senyuman itu. Aku mengangguk anguk mengerti, lalu ku remas kertas itu dan
kulemparkan bersama sampah sampah yang telah ku sapu. Tanpa kusadari, kertas
yang telah kulempar itu jatuh tepat dihadapan Ari ketika ia hendak melangkah
masuk ke kelas. Aku yang kaget melihat kedatangannya pun langsung membalikkan
badan, dan berpura pura tidak megetahui kejadian yang baru saja ku lakukan. Ia
berdiri dengan tegak, mengambil kertas itu lalu perlahan lahan mendekat ke
arahku.
“Jangan pura
pura ngga liat deh… lo kan yang ‘ngelempar kertas?? Ngaku aja… lo suka ya sama
gue ??” katanya sambil mengunyah permen karet dengan gayanya yang sok ganteng.
Aku hanya mengerutkan keningku dan menunjukkan wajah sinisku sambil terus fokus
pada pekerjaanku. Walau aku tidak menanggapinya, ia tetap saja berdiri
didekatku tanpa mau bergeser sedikitpun. Badannya yang tinggi dan tegap kadang
mengganggu pekerjaanku yang harus cepat cepat aku selesaikan sebelum bel
berbunyi.
“Ckckck… ngga
mau ngaku kan..?? beraninya lempar lempar kertas doang.. huu.. . “ katanya
lagi, namun kali ini dia pergi sambil melemparkan kertas yang telah ku remas
remas itu ke arahku. “Tuh.. sapu yang bersih”
“Berisik banget sih lo jadi cowo !!” kataku dengan
nada yang setengah tinggi. Kali ini dia hanya memalingkan wajahnya ke arahku
dan ia melebarkan senyum pahitnya selebar lebarnya, lalu meluruskan
pandangannya. Ternyata dia tak menyadari kertas itu adalah miliknya. Aku
mengambil kertas itu dan menyimpannya di dalam saku rok ku. Aku melihat ke arah
luar jendela dan melihat Ari yang dengan
santainya, berjalan di sepanjang koridor sekolah dengan tegap dan begitu
terlihat sumringah di depan adik adik kelasnya, seolah ia sedang berjalan di
atas karpet merah dengan sorak sorakan meriah dari para fans fansnya.
Ditatapnya sekilas anak anak kelas satu yang jelas jelas sedang menatapnya
dengan tatapan tampang melongo, seakan dia adalah cowok paling ganteng
se-Lampung. Aku yang melihatnya dari dalam jendela hanya bisa tertawa geli dan
bersukur karna aku tidak sebodoh anak kelas satu.
“Adek kelasku
katarak semua ternyata…!! Cowok kaya gitu dikagumin…!! Weeek.. !!” kataku dalam
hati sambil terus meringis.
Diantara anak kelas 3, aku lah yang paling pendiam
dan sukar untuk bersosialisasi, terlebih lagi dengan anak laki lakinya.
Jangankan dikelas lain, bersosialisasi dengan 1 teman laki laki dikelasku
sendiri pun aku tidak pernah bisa. Entah mengapa, aku merasa gugup jika mereka
mengajakku bicara. Baru ahir ahir ini saja aku dekat dengan Ari, itupun karna
dia memang orang yang supel, dan bisa bersosialisasi dengan siapapun. Setiap hari
ia selalu menampilkan wajahnya yang ceria serta senyum manisnya, setiap aku
melihatnya dari kejauhan, aku tidak pernah melihat ia sedang bersedih atau pun
gelisah, ia selalu bisa membuat teman temannya tertawa bersamanya. Bahkan,
dengan melihat ia tersenyum pun, rasa sedih yang ada didalam hatiku seakan
hilang dan aku dapat menatapnya dengan senyum. Hari ini aku harus menyelesaikan
cerpenku untuk dikirimkan dalam kompetisi menulis yang akan ditutup hari rabu
besok. Aku tidak terlalu berharap aku menang dan aku tidak berharap aku jadi
yang pertama. Cukup jadi salah satunya. Itu yang terpenting. Setidaknya, aku
sudah berusaha jadi pertama kan? .
Ketika jam istirahat biasanya kelasku selalu selalu
saja rusuh, ada yang membuat kelompok lalu mereka ngobrol sejadi dan seserunya,
ada yang membawa bekal makanan dari rumah lalu makan bersama, sedangkan semua
anak laki lakinya bergerombol didepan kelas lalu salah satu memainkan gitar,
sisanya bernyanyi sekeras mungkin. Aku yang merasa risih pun keluar kelas membawa
pena dan buku berisi kumpulan cerpen dan puisi puisiku yang sudah lama aku tulis
semenjak aku duduk di bangku sekolah kelas satu SMA. Aku duduk di tepat didepan
lapangan basket. Tanpa ku sadari ternyata ada Ari disana, dan dia sendirian.
Dia tampak dengan gesit mendribble bola dan melemparkannya ke dalam ring. Bola
itu masuk dengan sempurna !! dia mengalihkan pandangannya ke arahku dan
tersenyum ketika ia tahu aku sedang memperhatikannya dari jauh. Aku yang seakan
ikut merasakan kepuasan yang dirasakan Ari pun membalas senyumnya lalu
menundukkan kepalaku.
“Yaampun..
lesung pipinya buat aku deg deg’an..! kenapa dia berubah jadi Taylor Lautner
ketika dia bermain basket?? Cool !!” kata ku sambil senyum senyum ngga karuan.
Aku hanya bisa menundukkan kepala ku tanpa berani
menatapnya lagi. BRAAKK!!
“Aduuuh…!!” .
Bola basket yang menghantam kepalaku terasa membuat pandanganku kabur, kepalaku
terasa berat dan semua tampak berkunang kunang.
“Ayo ke UKS”
kata Ari sambil mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku hanya mentapnya dengan tatapan penuh kebencian
sambil mengerutkan keningkangku, lalu pergi dari hadapannya tanpa sebuah kata
kata. Ia hanya terdiam dengan tatapan dinginnya. Bulan bulan terahirku di kota Lampung
ini seakan membuatku tertekan dan memaksaku untuk sesegera mungkin meninggalkan
kota ini. Sekian lama aku memperharikan Ari disetiap hariku, aku baru sadar,
ternyata dia juga tipe orang penyendiri. Tapi dia tetap saja bisa
menyembunyikan perasaannya walaupun dia dalam keadaan sendiri, dia masih bisa
tersenyum ketika ia sendiri, bahkan ia masih bisa tertawa ketika ia bersedih.
Seperti menangis dalam tawa, dan tersenyum dalam duka, mungkinkah itu dia ??
Tahun ini sekolahku
mengadakan perayaan natal, dan aku memilih untuk tidak mengambil bagian dalam
perayaan natal itu. Beberapa teman temanku yang lebih eksis pasti sudah ambil
bagian dalam perayaan natal itu dan aku memilih menjadi penyimak teater natal
kali ini. Sebuah panggung sederhana telah dirancang khusus lengkap dengan
dekorasi Natal berupa lonceng, bintang dan kertas warna merah hijau pun turut
menghiasi background panggung yang sederhana itu. Pohon natal dengan hiasan
berupa boneka santa claus yang menggantung di ujung ujung pohon cemara itu terlihat
lebih berwarna warni ketika kerlap kerlip lampu yang menerangi pohon natal itu
di pasang berputar mengelilingi pohon natal secara spiral. Besok acara perayaan
natal pasti akan berlangsung meriah, apalagi yang menjadi tokoh tokoh dalam
drama teaternya adalah teman teman sekelasku, aku rasa natal esok akan menjadi
meriah bagi mereka yang merasa hari itu adalah hari specialnya, tapi bagiku,
apa hari esok adalah hari yang special? Bagiku sama saja. Selalu berjalan
monotun dan terkesen biasa saja. Tak kan ada yang special di natal tahun ini.
17 Tahun aku tinggal di Lampung, aku tidak pernah merasakan ada yang special
ketika malam natal natal ataupun ketika natal di 25 Desember. Tak sedikit dari
teman temanku yang telah menyiapkan segala sesuatu tentang natal, termasuk baju
baru. Aku hanya mendengar mereka selalu bicara tentang shopping, shopping dan
shopping. Atau “ eh.. baju lo gimana?” , “bahannya dari kain apa?” , “beli
dimana?” , “murah banget… nyesel deh ngga sama lo kemarin” . Sungguh persis
seperti kumpulan tante tante yang sibuk berbincang tentang arisan. Setelah
penataan panggung untuk hari natal selesai, aku langsung pulang tanpa mau
berkumpul berkumpul dengan panitia natal, lalu berfoto di atas panggung, dan
melakukan hal hal lucu yang semakin membuat waktuku terbuang. Aku pulang
melewati jalan yang setiap harinya ku lalui, melewati 3 polisi tidur, 1
turunan, 3 perempatan dan 1 jembatan. Jembatan yang selalu aku singgahi ketika
aku ingin menyindiri. Dan sudah 2 minggu ini aku tidak berkunjung ke jembatan
itu karna hari hariku disibukkan menulis novel dan cerpen yang harus ku
kirimkan secepatnya.
24 Desember. Dan ini
adalah sore menjelang malam Natal. Sore ini, dengan dress merah, sepatu high
hill putih, serta jepit kecil berwarna hijau yang menghiasi rambutku, aku duduk
sendiri dideretan paling depan, tepat di depan mimbar gereja. Aku datang
terlalu pagi. Bangku – bangku panjang yang berjejer masih terlihat kosong, dan
belum banyak jemaat yang datang. Aku hanya meluruskan pandanganku kedepan, ke
arah mimbar.
“Selamat Natal”
Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah suara
itu. Dan aku melihat senyum manis itu lagi. “Ari..??” . Mataku terbelalak
melihat Ari yang tampil kece sekecenya cowok !
“Boleh saya duduk disini ?? “ katanya sambil
tersenyum menatapku. Dan kali ini dia tidak menggunakan bahasa lo lo gue
gue’nya.
“Emm.. iya.. iya.. duduk aja..” jawabku dengan
ekspresi yang sedikit gugup. Dia duduk disampingku lalu menundukkan kepalanya,
dan ia berdoa. Aku menatapnya diam diam ketika ia berdoa. Dan… kenapa jantungku
jadi berdetak lebih keras sekarang ?? . Dia membuatku benar benar tak berkedip
sedetik pun. Dengan jas, dan kemeja putih serta dasinya yang berwarna biru,
membuat penampilannya lebih rapih dibanding pakaiannya di sekolah. Apa yang dia
panjatkan di dalam doanya, sehingga dia berdoa begitu lama ?? Dan kenapa dia
harus duduk disampingku?? . Aku menundukkan kepalaku sejenak dan berusaha untuk
tidak menatapnya lagi.
“Eheemm.. udah berdoa belum pagi ini “ katanya
membangunkan lamunanku.
“Udah kok Ri, “ jawabku singkat.
“Bagus deh..”
“Apa harapanmu di natal tahun ini ?? “ Tanya ku.
Masih dengan senyum.
“Eh.. itu rahasia gue dong !! ngapain tanya – tanya
!!? kepo deh ! “
Ingin rasanya aku lempar wajahnya dengan sepatu hak
tinggiku ketika ia menjawab dengan cetus. Namun aku hanya mengerutkan keningku
tanpa mau melanjutkan pembicaraanku lagi. Pria ini memang labil, aku kira sifatnya
bisa berbeda ketika dia di dalam gereja, tapi ternyata sama saja. MENYEBALKAN
!!!
“Besok ke sekolahnya bareng gue ya..” kata Ari
sambil menghadapkan wajahnya ke arahku.
“ emang ada apa disana”
“Ih.. Dasar tua !! pikun lo ye, hari natalan sekolah
“
“Oh. Iya. “ jawabku dengan tampilan wajah yang sok
cool.
Sepanjang perjalanan kebaktian pagi ini, aku dan dia
sama sama mencuri – curi pandang. Entah apa yang dia pikirkan. Yang jelas aku
malu. Sampai kebaktian berahir pun dia masih sering memandangku disetiap
kesempatan.
“yuk berangkat..” kata Ari sambil menarik tanganku
seusai kebaktian natal selesai.
Jantungku langsung berdetak ketika ia menarik
tanganku dan mengajakku ke sekolah dengan motor Vespa pink yang setiap harinya
ia gunakan sebagai kendaraan wajib kemana pun ia pergi.
“haa?? Pake vespa pink kamu ini?? Gila ! udah kece
gini, masa naek vespa? “ protesku
“Cerewet deh ! Cepet naek ! 1 menit nyampe kok
tenang aja! “
Suara vespa yang begitu jadul itu membuatku tertawa
sepanjang perjalanan. Membuatku tertawa geli dan menikmati perjalanan ini. Pria
berjas dengan dasi biru dan celana dasar serta sepatu hitam yang tampak rapi
mengendarai vespa pink.
‘Eh… kok belok ke arah rumah gue ?? Lo mau kerumah
gue ? Emang ko tau rumah gue ? “ kataku setelah tau kalo jalan yang dia lalui
adalah jalan ke arah rumahku. Dia berhenti di perempatan rumah ku lalu
berhenti.
“Turun..” kata Ari menyuruhku turun lalu mematikan motor vespanya.
“Eh.. apa apaan ? Mau mempir kerumah gw ? “
“gw aja ngga tau rumah lo”
“Terus ngapain kesini?”
“Tutup mata..” katanya.
Jantungku yang benar benar berdetak tidak karuan
makin dibuatnya tidak stabil. Apa yang sebenarnya dia lakukan ?? . Dia melepas
dasinya perlahan lalu menyuruhku menutup mata. Aku benar benar tidak mampu lagi
berkata kata, dingin, takut, dan jantung ini semakin keras berdetak. Aku
menutup mataku lalu dia pindah ke arah belakang badanku.
“Ikutin aku ya..”
katanya.
Lalu ia menutup mataku dengan kedua tangannya dari
belakang tubuhku. Dia masih menuntunku dari belakang tubuhku dengan posisi
badan yang begitu dekat denganku, hingga bau parfumnya pun tercium begitu jelas
dari belakang.
“Semakin dekat..” katanya.
Aku tetap berjalan mengikuti langkahnya. Aku
mendengar suara gemericik air, dan aku mengenal suara ini. Sinar matahari sore
ini terasa hangat di kulitku. Langkahnya berhenti lalu ia menyuruhku membuka
mata. Yaa… Jembatan itu. Aku dan dia berdiri tepat di tengah jembatan gantung
itu.
“Ini tempatku menyendiri” katanya sambil menatap ke
bawah jembatan, melihat sungai yang begitu bergemericik itu. Aku terdiam. Aku
hening sejenak menatap sekitar jembatan ini. Mengapa aku tak pernah sadar ada
orang lain yang sering menyendiri disini selain aku ?? . Matahari orange yang
sebentar lagi terbenam di ufuknya, memberikanku kehangatan sore itu. Air yang
mengalir itu tampak berkilau kilau seperti serpihan berlian. Sesekali aku
menatap Ari yang masih terdiam membisu. Dia berdiri tepat di sampingku. Aku
memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Aku membuka alkitabku dan mengambil
secarik kertas pink yang sudah kusut. Aku membaca tulisan yang ada di dalam
kertas itu.
“Ketika kamu tersenyum ketika itulah aku
terluka. Terluka karna perjuanganku untuk memiliki senyum itu hanyalah sia sia”
.
Dengan wajah yang masih terarah ke arah sungai itu,
dia tersenyum kecil. Aku dan dia sama sama melihat ke air yang bergemericik
itu. Sekali lagi, dia menggandeng kedua tanganku, dan menghadapkan wajahnya
persis di depan wajahku lalu mengambil kertas itu dari genggaman tanganku dan
membuangnya kearah sungai itu. Jantungku yang masih berdetak keras pun kini
berdetak semakin keras. Tangan ku dingin dan mulutku membisu, seakan semuanya
beku dan tidak dapat bergerak. Aku tertunduk. Aku takut melihat matanya yang
begitu tajam menatapku dalam dalam. Dia menyentuh bagian bawah daguku dengan
telunjuknya lalu meluruskan pandanganku tepat ke arah wajahnya. Dia tersenyum.
“ Aku tidak lagi terluka karna tidak dapat memiliki
senyum itu.. “ katanya.
Kini wajahnya semakin dekat dengan wajahku.
“Bisakah kamu menatap mataku..? Lihat.. apa mata ini
berbohong tentang perasaan itu ?” katanya lagi.
Aku masih terdiam membisu. Semuanya beku. Tanganku
dingin, kakiku seolah tak kuat lagi berdiri.
“Aku sayang kamu Rin.. Boleh aku tinggal di dalam
ruang hatimu??”
Detik itu pula, jantungku seakan berhenti berdetak.
Aku bingung, karna aku tak dapat lagi berkata kata. Untuk sesaat, aku menghela
nafasku dan berusaha rileks. Tangannya masih mengandeng tanganku dan kini dia
menggandeng tanganku erat erat, lalu meletakkannya di dadanya.
“Apa tanganmu bisa merasakan detak jantungku juga??
Rasanya seperti ingin meledak ketika seorang pria menunggu jawaban wanita yang
selama ini benar benar ia cinta”
Aku benar benar merasakan detak jantungnya berdetak
begitu kencang, apa detak jantung nya seirama dengan detak jantungku?? Aku
kembali terdiam. Hanya suara gemericik air yang mengalir dan hembusan angin
yang seakan membelaiku dengan lembut hingga menghembuskan rambut panjangku yang
tergerai lembut. Ingin ku jawab “ YA” namun bibir tak kuat lagi bicara. Namun kali ini aku beranikan diri untuk
bicara.
“Aku melihatmu dari jauh, menatapmu diam diam,
mengagumimu diam diam, mencintaimu diam diam, seperti pencuri yang selalu
mengintai sebuah hati untuk dimasuki dan berharap aku dapat mencuri hatimu.
Tapi sepertinya kamu sudah terlebih dahulu tau bahwa selama ini aku selalu
mengintaimu dari jauh… dan pada ahirnya, kamu yang mencuri hatiku “ jawabku
dengan senyum.
“Jadi ?? “
“Tinggallah disini… Dihatiku.. “ jawabku sambil
membalas senyumnya dengan mata yang berbinar binar.
Dia melebarkan senyum manisnya dengan sempurna, dan
kali ini lesung pipi disebelah kirinya terlihat begitu jelas di depan mataku.
“Dan sekarang.. aku bakal pastiin kamu ngga akan
sendiri lagi !! aku bakal temenin kamu berangkat sekolah, di sekolah, pulang
sekolah, kemanaaaaa aja pokoknya bakal aku temenin !! “ katanya sambil tertawa
bahagia.
Aku hanya tersenyum melihatnya tertawa bahagia.
Matahari yang mulai terbenam separuh, membuat suasana sore itu mulai gelap. Aku
dan dia sama sama berdiri menghadap matahari orange itu menunggu detik detik
terbenamnya senja di ufuk barat. Ari menatapku lalu memeluk ku dari samping. “
Merry Christmas sayang… J “ Lalu ia menyibakkan poniku,
menatapku, lalu mencium keningku. Aku hanya terdiam sambil memejamkan mataku di
dalam pelukan hangatnya.
“Lampung, 24
Desember 2012 . Kita ukir di pohon ini yaa..” katanya sambil menunjuk
pohon mahoni yang ada di sebrang jembatan itu.
“Nanti kalo aku di Medan, kamu jangan nakal disini.
Tunggu aku disini ya.. di Lampung in love aku janji pasti aku bakalan balik
lagi kesini” Ari tersenyum, sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Janji ya”
katanya. Aku mengangguk lalu mengacungkan jari kelingkingku dan menggandeng
jari kelingkingnya. Lengkung senyum dibibirnya terlihat begitu sempurna, seakan
menandakan kebahagian yang sama seperti yang aku rasa.
Ini tahun pertamaku mendapat kejutan natal. Yaa..
Lampung, 24 Desember. Adalah tempat dan tanggal teristimewa. Karna aku yakin
matanya tak akan pernah berbohong. Pada ahkhirnya, Tuhan memberiku teman. Aku
tak lagi berjalan menyusuri jalanan itu sendirian, aku tak lagi ke jembatan itu
sendiri, dan aku tak lagi menatapnya dengan diam diam. Aku akan tetap
menunggunya disini ketika ia melanjutkan kuliahnya di Medan nanti. Aku yakinkan
hati ini, karena aku tidak salah melihat matanya. Dia yang mewarnai hariku
dengan warna warni crayon hidup. Menghapus kesendirianku, dan memberikanku
makna Natal yang akan terus terukir disini. Dihatiku, dihidpku. Dan akan terus
terlihat disini. Dipohon ini . Di Lampung in Love.
0 komentar:
Posting Komentar