Kamis, 27 Desember 2012

Lampung, 25 Desember 2012



Bagiku tidak ada yang indah kecuali melihat jutaan bintang yang bertaburan di hamparan awan malam yang hitam, dan semua itu akan terlihat lebih indah bila bulan purnama menyinari malam seperti layaknya matahari menyinari siang hari. Ku ambil gitar ku, dan duduk di kursi teras depan rumah dengan secangkir kopi hangat buatan ibu, anjingku molly yang setia, juga ikut duduk dikursi samping tempatku duduk sambil mengibas ngibaskan ekornya dan menatapku, seolah olah dia tau apa yang ku pikirkan dan kurasakan saat ini. Aku mulai memainkan jemariku, memetik setiap senar gitar dan memainkan melodi dari nada ke nada. Mungkin cuma ini keseharian yang bisa ku lakukan, aku hanya bisa menunggu datangnya kelulusan dan bersiap untuk pergi meninggalkan kota Lampung yang tercinta ini. Setiap sudut jalan, setiap gang, setiap perempatan, setiap pertigaan, setiap rumah, setiap tempat disini, memiliki kenangan dan cerita tersendiri untukku, entah itu ketika aku sedih atau senang, pahit atau manis, suka atau duka  ini lah kotaku, kota yang menyimpan berbagai cerita dari aku lahir hingga saat ini aku berumur 17 tahun. Berbagai cerita telah terukir disini, di kota ini, terlebih lagi cerita tentang cinta. Ya… C-I-N-T-A . Setiap orang pasti memiliki cerita cinta di kotanya masing masing, termasuk aku. Rekaman cerita cinta itu seakan akan kembali berputar ketika aku melewati tempat tempat yang dulu nya pernah menjadi tempatku mengukir sebuah kenangan indah bersama orang yang aku cintai. Namun itu hanyalah kenangan,yang tak harus dilupakan, cukup dikenang sebagai cerita indah yang setidaknya pernah ku lalui dan kurasakan dikehidupan ini. Malam ini mendung, dinginnya angin malam cukup membelai lembut seluruh kulitku hingga aku merasa dingin dan merinding. Sesekali aku menyeruput kopi hangat ku lalu kembali memainkan jemariku dengan gitar itu. Angin malam ini membuat ranting ranting pohon saling bergesekan, menimbulkan suara gusruh hingga aku pun dapat merasakan suara dedaunan itu tampak seolah menari nari bersama desah angin yang berhembus malam itu. Aku masuk kemarku lalu merebahkan seluruh badanku di atas kasur kamarku sambil menatap langit langit kamar dengan pandangan kosong. Bulan ini bulan Desember, 7 hari lagi sudah hari Natal dan aku belum memasang pohon evergreen beserta lampu lampunya. Biasanya setiap bulan Desember ayahku selalu mengajakku untuk menghias pohon natal dan menancapkan hiasan bintang yang berwarna emas di ujung pohon evergreen, tapi untuk sekarang, aku menghias pohon natal itu tanpa ayahku. Hanya ada sebuah kartu ucapan Natal berwarana merah, dengan gambar Santa Claus sedang memberikan kado kepada seorang anak perempuan dan didalamnya bertuliskan :
Selamat Natal, Merry Christmas anakku, maaf ayah tidak merayakan Natal tahun ini bersama anak anak ayah. Tapi ayah yakin, anak perempuan ayah yang satu ini pasti bisa berfikir dewasa. Jadikan natalmu tahun ini lebih bermakana dari pada baju barumu nak..
Ketika aku membacanya, aku tak dapat lagi membendung air mataku yang perlahan mulai menetes dari pelupuk mataku, kartu ucapan itu dikirim 2 hari yang lalu bersamaan dengan sebuah bingkisan berupa boneka Santa Claus dan sebuah kalung perak. Tiap kali aku melihat boneka Santa Claus itu, entah mengapa mataku selalu saja berkaca kaca, dan lagi lagi aku harus menahan air mata. Aku berusaha tak mengingatnya, dan mencoba meraba meraba kasurku dan mencari cari handphoneku yang sejak tadi pagi sama sekali belum ku sentuh sedikitpun, namun mataku terpaku pada sebuah kado yang berbentuk kotak persegi panjang, dibalut dengan kertas tisu warna biru dan dihiasi dengan pita putih keemasan. Aku terpaku menatap benda biru yang tergeletak di atas meja belajarku itu, seolah ada ingatan yang selalu saja muncul dibenakku ketika aku melihat benda biru itu. Itu adalah hadiah terakhirku untuk kak Julius, orang yang kusayangi dan sudah satu bulan ini dia pergi meninggalkanku ke Bandung untuk mengejar mimpi yang telah ia gantungkan tinggi. Aku hanya sekedar mengaguminya saja, tapi entah mengapa seiring dengan berjalannya waktu, rasa kagum itu tak lagi ku rasakan, yang ada hanyalah rasa cemburu ketika aku tau dia begitu dekat dengan teman sekelasku. Bukankah rasa cemburu itu tanda cinta?? Apa rasa kagum itu berubah menjadi cinta?? Entahlah.. yang jelas, aku ingin memberinya kenang – kenangan sembari menatap matanya untuk yang terahir kali, tapi belum sempat aku memberinya hadiah kala itu, dia sudah terlebih dahulu pergi tanpa ada kata kata atau ucapan perpisahan. Tapi aku yakin suatu saat nanti, entah kapan pun itu, dia pasti kembali ke kota ini, dan saat itu lah, aku memberikan hadiah itu. Sampai kapan pun itu, berapa tahun pun itu, aku akan tetap menunggu sampai dia kembali. Itu lah penantian.
Pagi ini aku berangkat sekolah lebih pagi dari hari hari biasanya, karena setiap Senin adalah jadwal piketku, aku pun harus bisa melaksanakan tanggung jawabku sebagai siswa yang baik. Yaa.. berangkat lebih pagi dan menyapu seluruh halaman kelas adalah salah satu contoh pelaksanaan tanggung jawab yang sederhana. Jarak rumah dan sekolahku tidak terlalu jauh, cukup berjalan kaki dengan menghabiskan waktu 15 menit pun aku sudah sampai disekolah. Lebih hemat biaya, tanpa polusi, dan menambah kesehatan tulang dan otot otot tentunya. Setiap pagi aku memang sudah terbiasa berangkat sendirian, berjalan sendiri dan terkadang aku bicara sendiri dengan burung burung yang seakan menyapaku dengan siulannya. Aku berharap aku punya teman disetiap aku berjalan sendirian. Namun orang – orang disekitarku seolah malah menjauhiku. Kata mereka aku ini aneh. Entah sampai kapan aku sendiri disetiap aku berjalan pergi dan kembali. Yang jelas aku juga lelah menyendiri dan sendiri. Pagi ini embun pagi begitu pekat, mungkin karena hujan semalam. Tiap tiap gang kecil diperumahan tempat tinggalku, ditutupi embun yang tebal hingga pengelihatanku pun jadi agak samar. Rumput, dan dedaunan pohon pun terlihat basah dibasahai embun pagi. Ada sebuah jembatan gantung disekitar perumahanku yang menjadi tempatku singgah mengisi semua ceritaku, namanya jembatan Singo rajo, letaknya tak jauh dari rumahku, terletak persis di sebelah barat perempatan gangku. Sebuah jembatan gantung dengan sebuah sungai yang lumayan besar dan gemericik air yang begitu bening dan natural untuk kudengar. Tempat ini jarang sekali terjamah oleh orang orang disekitar sini, karena tempatnya yang jauh dan terpencil. Mungkin hanya aku dan kakek kakek pencari rumput yang sering berkunjung kemari  Aku rasa matahari pagi ini sudah cukup tinggi, tapi embunnya masih saja menghalangi pandanganku. Kota Lampung yang masih tergolong sebagai daerah madya memang berbeda jauh dengan kota Jakarta yang setiap hari macet 24 jam. Jam segini, jalanan Lampung masih sepi, hanya ada angkot angkot yang biasanya mengantarkan anak anak sekolah yang memadati jalanan setiap paginya. Selebihnya, jalanan Lampung disini jarang sekali macet, karena Lampung adalah daerah lintas. Jadi jarang sekali macet. Tidak jauh berbeda dengan Bandung, suasananya masih natural dan sedikit sekali ada gedung gedung tiggi yang berdiri hingga menjulang ke langit seperti di Ibu kota Jakarta. Inilah pengelihatanku setiap pagi. Berjalan sendiri dengan embun pagi dan sedikit suara lalu lintas.
     “Pak Yadi… udah bangun toh? “ tanya ku kepada pak penjaga sekolah separuh baya yang sedang mendorong gerobak sorongnya sambil memungut bekas botol botol minuman yang berceceran di lingkungan sekolah. Pak Yadi hanya tersenyum sambil terus fokus mendorong gerobak sorongnya. Sepertinya aku adalah orang pertama yang datang kesekolah hari ini, benar benar sepi dan hening, hanya ada aku dan pak Yadi, dengan suasana pagi yang masih dibalut sejuknya embun pagi bersama hangatnya sinar matahari. Aku menyempatkan waktu untuk duduk sejenak dan menatap sudut sudut ruangan, dan setiap koridor yang ada di deretan kelas 1 sampai kelas 3. Disana banyak kenangan mereka, teman teman ku, dan aku. Mereka tertawa disana, menagis disana, bercanda disana. Sekolah ku pun mengukir banyak kenangan indah di dalam hidupku. Dan 3 bulan lagi, aku akan meninggalkan sekolah ini dan kota ini. Sungguh indah bila aku kenang semuanya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika nanti aku benar benar pergi dari kota Lampungku ini, pasti aku akan merindukan masa ketika aku dan teman temanku mengikuti ekstrakulikuler menari tarian “Sigeh Penguten” (tarian adat lampung) dengan hiasan mahkota siger seperti yang ada pada lambang kota Lampung yang dipasang atas dikepala serta Sesapur dan kain tapis berwarna keemasan sebagai baju khasnya.
     “Rin..” sesorang menepuk bahuku dari belakang. Aku yang sedang asik mengenang masalalu pun menoleh ke arah datangnya suara.
“Eh, Eka tumben berangkat pagi” Tanyaku
“Kan mau piket” jawabnya sembari duduk disampingku seolah dia ingin ikut terbanag ke putaran masa lalu yang kubayangkan.
Tanpa mengulur waktu, aku langsung menarik tangannya, dan mengajaknya untuk segera menyelesaikan tugas piket hari ini secepatnya, karna setiap senin adalah hari wajib untuk melaksanakan upacara bendera, jadi waktunya akan lebih sedikit untuk kami melaksanakan tugas piket. Segera saja ku arahkan sapuku ke kolong kolong meja dan dibawah bawah kursi di tempat duduk paling pojok, paling kanan, dan paling belakang. Ya, tempat duduk nya Ari alias Sumurung Made Ari Nadeak, si pria batak yang berjabatan sebagai ketua kelas di kelas ku, dan terkenal sebagai siswa yang paling gokil se-antero. Ketika aku sibuk mengobrak abrik seluruh lacinya, aku melihat sebuah kertas berwarana pink dengan bentuk menyerupai bentuk hati. Aku mengambil kertas itu dan membaca tulisan yang ada didalam kertas itu..
     “Ketika kamu tersenyum ketika itulah aku terluka. Terluka karna perjuanganku untuk memiliki senyum itu hanyalah sia sia
Aku membacanya dan terdiam sejenak, berfikir keras tentang makna dari kelimat sederhana yang ia tulis menggunakan tinta merah itu. Dari tulisan itu, tertulis jelas perasaan hatinya, yang walaupun hanya tersurat melalui tulisan sederhana, namun aku tahu benar perasaannya yang hancur karna senyuman itu. Aku mengangguk anguk mengerti, lalu ku remas kertas itu dan kulemparkan bersama sampah sampah yang telah ku sapu. Tanpa kusadari, kertas yang telah kulempar itu jatuh tepat dihadapan Ari ketika ia hendak melangkah masuk ke kelas. Aku yang kaget melihat kedatangannya pun langsung membalikkan badan, dan berpura pura tidak megetahui kejadian yang baru saja ku lakukan. Ia berdiri dengan tegak, mengambil kertas itu lalu perlahan lahan mendekat ke arahku.
 “Jangan pura pura ngga liat deh… lo kan yang ‘ngelempar kertas?? Ngaku aja… lo suka ya sama gue ??” katanya sambil mengunyah permen karet dengan gayanya yang sok ganteng. Aku hanya mengerutkan keningku dan menunjukkan wajah sinisku sambil terus fokus pada pekerjaanku. Walau aku tidak menanggapinya, ia tetap saja berdiri didekatku tanpa mau bergeser sedikitpun. Badannya yang tinggi dan tegap kadang mengganggu pekerjaanku yang harus cepat cepat aku selesaikan sebelum bel berbunyi.
 “Ckckck… ngga mau ngaku kan..?? beraninya lempar lempar kertas doang.. huu.. . “ katanya lagi, namun kali ini dia pergi sambil melemparkan kertas yang telah ku remas remas itu ke arahku. “Tuh.. sapu yang bersih”
“Berisik banget sih lo jadi cowo !!” kataku dengan nada yang setengah tinggi. Kali ini dia hanya memalingkan wajahnya ke arahku dan ia melebarkan senyum pahitnya selebar lebarnya, lalu meluruskan pandangannya. Ternyata dia tak menyadari kertas itu adalah miliknya. Aku mengambil kertas itu dan menyimpannya di dalam saku rok ku. Aku melihat ke arah luar jendela dan melihat Ari yang  dengan santainya, berjalan di sepanjang koridor sekolah dengan tegap dan begitu terlihat sumringah di depan adik adik kelasnya, seolah ia sedang berjalan di atas karpet merah dengan sorak sorakan meriah dari para fans fansnya. Ditatapnya sekilas anak anak kelas satu yang jelas jelas sedang menatapnya dengan tatapan tampang melongo, seakan dia adalah cowok paling ganteng se-Lampung. Aku yang melihatnya dari dalam jendela hanya bisa tertawa geli dan bersukur karna aku tidak sebodoh anak kelas satu.
 “Adek kelasku katarak semua ternyata…!! Cowok kaya gitu dikagumin…!! Weeek.. !!” kataku dalam hati sambil terus meringis.
Diantara anak kelas 3, aku lah yang paling pendiam dan sukar untuk bersosialisasi, terlebih lagi dengan anak laki lakinya. Jangankan dikelas lain, bersosialisasi dengan 1 teman laki laki dikelasku sendiri pun aku tidak pernah bisa. Entah mengapa, aku merasa gugup jika mereka mengajakku bicara. Baru ahir ahir ini saja aku dekat dengan Ari, itupun karna dia memang orang yang supel, dan bisa bersosialisasi dengan siapapun. Setiap hari ia selalu menampilkan wajahnya yang ceria serta senyum manisnya, setiap aku melihatnya dari kejauhan, aku tidak pernah melihat ia sedang bersedih atau pun gelisah, ia selalu bisa membuat teman temannya tertawa bersamanya. Bahkan, dengan melihat ia tersenyum pun, rasa sedih yang ada didalam hatiku seakan hilang dan aku dapat menatapnya dengan senyum. Hari ini aku harus menyelesaikan cerpenku untuk dikirimkan dalam kompetisi menulis yang akan ditutup hari rabu besok. Aku tidak terlalu berharap aku menang dan aku tidak berharap aku jadi yang pertama. Cukup jadi salah satunya. Itu yang terpenting. Setidaknya, aku sudah berusaha jadi pertama kan? .
Ketika jam istirahat biasanya kelasku selalu selalu saja rusuh, ada yang membuat kelompok lalu mereka ngobrol sejadi dan seserunya, ada yang membawa bekal makanan dari rumah lalu makan bersama, sedangkan semua anak laki lakinya bergerombol didepan kelas lalu salah satu memainkan gitar, sisanya bernyanyi sekeras mungkin. Aku yang merasa risih pun keluar kelas membawa pena dan buku berisi kumpulan cerpen dan puisi puisiku yang sudah lama aku tulis semenjak aku duduk di bangku sekolah kelas satu SMA. Aku duduk di tepat didepan lapangan basket. Tanpa ku sadari ternyata ada Ari disana, dan dia sendirian. Dia tampak dengan gesit mendribble bola dan melemparkannya ke dalam ring. Bola itu masuk dengan sempurna !! dia mengalihkan pandangannya ke arahku dan tersenyum ketika ia tahu aku sedang memperhatikannya dari jauh. Aku yang seakan ikut merasakan kepuasan yang dirasakan Ari pun membalas senyumnya lalu menundukkan kepalaku.
     “Yaampun.. lesung pipinya buat aku deg deg’an..! kenapa dia berubah jadi Taylor Lautner ketika dia bermain basket?? Cool !!” kata ku sambil senyum senyum ngga karuan.
Aku hanya bisa menundukkan kepala ku tanpa berani menatapnya lagi. BRAAKK!!
 “Aduuuh…!!” . Bola basket yang menghantam kepalaku terasa membuat pandanganku kabur, kepalaku terasa berat dan semua tampak berkunang kunang.
 “Ayo ke UKS” kata Ari sambil mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku hanya mentapnya dengan tatapan penuh kebencian sambil mengerutkan keningkangku, lalu pergi dari hadapannya tanpa sebuah kata kata. Ia hanya terdiam dengan tatapan dinginnya. Bulan bulan terahirku di kota Lampung ini seakan membuatku tertekan dan memaksaku untuk sesegera mungkin meninggalkan kota ini. Sekian lama aku memperharikan Ari disetiap hariku, aku baru sadar, ternyata dia juga tipe orang penyendiri. Tapi dia tetap saja bisa menyembunyikan perasaannya walaupun dia dalam keadaan sendiri, dia masih bisa tersenyum ketika ia sendiri, bahkan ia masih bisa tertawa ketika ia bersedih. Seperti menangis dalam tawa, dan tersenyum dalam duka, mungkinkah itu dia ??
Tahun ini sekolahku mengadakan perayaan natal, dan aku memilih untuk tidak mengambil bagian dalam perayaan natal itu. Beberapa teman temanku yang lebih eksis pasti sudah ambil bagian dalam perayaan natal itu dan aku memilih menjadi penyimak teater natal kali ini. Sebuah panggung sederhana telah dirancang khusus lengkap dengan dekorasi Natal berupa lonceng, bintang dan kertas warna merah hijau pun turut menghiasi background panggung yang sederhana itu. Pohon natal dengan hiasan berupa boneka santa claus yang menggantung di ujung ujung pohon cemara itu terlihat lebih berwarna warni ketika kerlap kerlip lampu yang menerangi pohon natal itu di pasang berputar mengelilingi pohon natal secara spiral. Besok acara perayaan natal pasti akan berlangsung meriah, apalagi yang menjadi tokoh tokoh dalam drama teaternya adalah teman teman sekelasku, aku rasa natal esok akan menjadi meriah bagi mereka yang merasa hari itu adalah hari specialnya, tapi bagiku, apa hari esok adalah hari yang special? Bagiku sama saja. Selalu berjalan monotun dan terkesen biasa saja. Tak kan ada yang special di natal tahun ini. 17 Tahun aku tinggal di Lampung, aku tidak pernah merasakan ada yang special ketika malam natal natal ataupun ketika natal di 25 Desember. Tak sedikit dari teman temanku yang telah menyiapkan segala sesuatu tentang natal, termasuk baju baru. Aku hanya mendengar mereka selalu bicara tentang shopping, shopping dan shopping. Atau “ eh.. baju lo gimana?” , “bahannya dari kain apa?” , “beli dimana?” , “murah banget… nyesel deh ngga sama lo kemarin” . Sungguh persis seperti kumpulan tante tante yang sibuk berbincang tentang arisan. Setelah penataan panggung untuk hari natal selesai, aku langsung pulang tanpa mau berkumpul berkumpul dengan panitia natal, lalu berfoto di atas panggung, dan melakukan hal hal lucu yang semakin membuat waktuku terbuang. Aku pulang melewati jalan yang setiap harinya ku lalui, melewati 3 polisi tidur, 1 turunan, 3 perempatan dan 1 jembatan. Jembatan yang selalu aku singgahi ketika aku ingin menyindiri. Dan sudah 2 minggu ini aku tidak berkunjung ke jembatan itu karna hari hariku disibukkan menulis novel dan cerpen yang harus ku kirimkan secepatnya.
24 Desember. Dan ini adalah sore menjelang malam Natal. Sore ini, dengan dress merah, sepatu high hill putih, serta jepit kecil berwarna hijau yang menghiasi rambutku, aku duduk sendiri dideretan paling depan, tepat di depan mimbar gereja. Aku datang terlalu pagi. Bangku – bangku panjang yang berjejer masih terlihat kosong, dan belum banyak jemaat yang datang. Aku hanya meluruskan pandanganku kedepan, ke arah mimbar.
“Selamat Natal”
Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah suara itu. Dan aku melihat senyum manis itu lagi. “Ari..??” . Mataku terbelalak melihat Ari yang tampil kece sekecenya cowok !
“Boleh saya duduk disini ?? “ katanya sambil tersenyum menatapku. Dan kali ini dia tidak menggunakan bahasa lo lo gue gue’nya.
“Emm.. iya.. iya.. duduk aja..” jawabku dengan ekspresi yang sedikit gugup. Dia duduk disampingku lalu menundukkan kepalanya, dan ia berdoa. Aku menatapnya diam diam ketika ia berdoa. Dan… kenapa jantungku jadi berdetak lebih keras sekarang ?? . Dia membuatku benar benar tak berkedip sedetik pun. Dengan jas, dan kemeja putih serta dasinya yang berwarna biru, membuat penampilannya lebih rapih dibanding pakaiannya di sekolah. Apa yang dia panjatkan di dalam doanya, sehingga dia berdoa begitu lama ?? Dan kenapa dia harus duduk disampingku?? . Aku menundukkan kepalaku sejenak dan berusaha untuk tidak menatapnya lagi.
“Eheemm.. udah berdoa belum pagi ini “ katanya membangunkan lamunanku.
“Udah kok Ri, “ jawabku singkat.
“Bagus deh..”
“Apa harapanmu di natal tahun ini ?? “ Tanya ku. Masih dengan senyum.
“Eh.. itu rahasia gue dong !! ngapain tanya – tanya !!? kepo deh ! “
Ingin rasanya aku lempar wajahnya dengan sepatu hak tinggiku ketika ia menjawab dengan cetus. Namun aku hanya mengerutkan keningku tanpa mau melanjutkan pembicaraanku lagi. Pria ini memang labil, aku kira sifatnya bisa berbeda ketika dia di dalam gereja, tapi ternyata sama saja. MENYEBALKAN !!!
“Besok ke sekolahnya bareng gue ya..” kata Ari sambil menghadapkan wajahnya ke arahku.
“ emang ada apa disana”
“Ih.. Dasar tua !! pikun lo ye, hari natalan sekolah “
“Oh. Iya. “ jawabku dengan tampilan wajah yang sok cool.
Sepanjang perjalanan kebaktian pagi ini, aku dan dia sama sama mencuri – curi pandang. Entah apa yang dia pikirkan. Yang jelas aku malu. Sampai kebaktian berahir pun dia masih sering memandangku disetiap kesempatan.
“yuk berangkat..” kata Ari sambil menarik tanganku seusai kebaktian natal selesai.
Jantungku langsung berdetak ketika ia menarik tanganku dan mengajakku ke sekolah dengan motor Vespa pink yang setiap harinya ia gunakan sebagai kendaraan wajib kemana pun ia pergi.
“haa?? Pake vespa pink kamu ini?? Gila ! udah kece gini, masa naek vespa? “ protesku
“Cerewet deh ! Cepet naek ! 1 menit nyampe kok tenang aja! “
Suara vespa yang begitu jadul itu membuatku tertawa sepanjang perjalanan. Membuatku tertawa geli dan menikmati perjalanan ini. Pria berjas dengan dasi biru dan celana dasar serta sepatu hitam yang tampak rapi mengendarai vespa pink.
‘Eh… kok belok ke arah rumah gue ?? Lo mau kerumah gue ? Emang ko tau rumah gue ? “ kataku setelah tau kalo jalan yang dia lalui adalah jalan ke arah rumahku. Dia berhenti di perempatan rumah ku lalu berhenti.
“Turun..” kata Ari menyuruhku turun lalu  mematikan motor vespanya.
“Eh.. apa apaan ? Mau mempir kerumah gw ? “
“gw aja ngga tau rumah lo”
“Terus ngapain kesini?”
“Tutup mata..” katanya.
Jantungku yang benar benar berdetak tidak karuan makin dibuatnya tidak stabil. Apa yang sebenarnya dia lakukan ?? . Dia melepas dasinya perlahan lalu menyuruhku menutup mata. Aku benar benar tidak mampu lagi berkata kata, dingin, takut, dan jantung ini semakin keras berdetak. Aku menutup mataku lalu dia pindah ke arah belakang badanku.
“Ikutin aku ya..”  katanya.
Lalu ia menutup mataku dengan kedua tangannya dari belakang tubuhku. Dia masih menuntunku dari belakang tubuhku dengan posisi badan yang begitu dekat denganku, hingga bau parfumnya pun tercium begitu jelas dari belakang.
“Semakin dekat..” katanya.
Aku tetap berjalan mengikuti langkahnya. Aku mendengar suara gemericik air, dan aku mengenal suara ini. Sinar matahari sore ini terasa hangat di kulitku. Langkahnya berhenti lalu ia menyuruhku membuka mata. Yaa… Jembatan itu. Aku dan dia berdiri tepat di tengah jembatan gantung itu.
“Ini tempatku menyendiri” katanya sambil menatap ke bawah jembatan, melihat sungai yang begitu bergemericik itu. Aku terdiam. Aku hening sejenak menatap sekitar jembatan ini. Mengapa aku tak pernah sadar ada orang lain yang sering menyendiri disini selain aku ?? . Matahari orange yang sebentar lagi terbenam di ufuknya, memberikanku kehangatan sore itu. Air yang mengalir itu tampak berkilau kilau seperti serpihan berlian. Sesekali aku menatap Ari yang masih terdiam membisu. Dia berdiri tepat di sampingku. Aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Aku membuka alkitabku dan mengambil secarik kertas pink yang sudah kusut. Aku membaca tulisan yang ada di dalam kertas itu.
     “Ketika kamu tersenyum ketika itulah aku terluka. Terluka karna perjuanganku untuk memiliki senyum itu hanyalah sia sia” .
Dengan wajah yang masih terarah ke arah sungai itu, dia tersenyum kecil. Aku dan dia sama sama melihat ke air yang bergemericik itu. Sekali lagi, dia menggandeng kedua tanganku, dan menghadapkan wajahnya persis di depan wajahku lalu mengambil kertas itu dari genggaman tanganku dan membuangnya kearah sungai itu. Jantungku yang masih berdetak keras pun kini berdetak semakin keras. Tangan ku dingin dan mulutku membisu, seakan semuanya beku dan tidak dapat bergerak. Aku tertunduk. Aku takut melihat matanya yang begitu tajam menatapku dalam dalam. Dia menyentuh bagian bawah daguku dengan telunjuknya lalu meluruskan pandanganku tepat ke arah wajahnya. Dia tersenyum.
“ Aku tidak lagi terluka karna tidak dapat memiliki senyum itu.. “ katanya.
Kini wajahnya semakin dekat dengan wajahku.
“Bisakah kamu menatap mataku..? Lihat.. apa mata ini berbohong tentang perasaan itu ?” katanya lagi.
Aku masih terdiam membisu. Semuanya beku. Tanganku dingin, kakiku seolah tak kuat lagi berdiri.
“Aku sayang kamu Rin.. Boleh aku tinggal di dalam ruang hatimu??”
Detik itu pula, jantungku seakan berhenti berdetak. Aku bingung, karna aku tak dapat lagi berkata kata. Untuk sesaat, aku menghela nafasku dan berusaha rileks. Tangannya masih mengandeng tanganku dan kini dia menggandeng tanganku erat erat, lalu meletakkannya di dadanya.
“Apa tanganmu bisa merasakan detak jantungku juga?? Rasanya seperti ingin meledak ketika seorang pria menunggu jawaban wanita yang selama ini benar benar ia cinta”
Aku benar benar merasakan detak jantungnya berdetak begitu kencang, apa detak jantung nya seirama dengan detak jantungku?? Aku kembali terdiam. Hanya suara gemericik air yang mengalir dan hembusan angin yang seakan membelaiku dengan lembut hingga menghembuskan rambut panjangku yang tergerai lembut. Ingin ku jawab “ YA” namun bibir tak kuat lagi bicara.  Namun kali ini aku beranikan diri untuk bicara.
“Aku melihatmu dari jauh, menatapmu diam diam, mengagumimu diam diam, mencintaimu diam diam, seperti pencuri yang selalu mengintai sebuah hati untuk dimasuki dan berharap aku dapat mencuri hatimu. Tapi sepertinya kamu sudah terlebih dahulu tau bahwa selama ini aku selalu mengintaimu dari jauh… dan pada ahirnya, kamu yang mencuri hatiku “ jawabku dengan senyum.
“Jadi ?? “
“Tinggallah disini… Dihatiku.. “ jawabku sambil membalas senyumnya dengan mata yang berbinar binar.
Dia melebarkan senyum manisnya dengan sempurna, dan kali ini lesung pipi disebelah kirinya terlihat begitu jelas di depan mataku.
“Dan sekarang.. aku bakal pastiin kamu ngga akan sendiri lagi !! aku bakal temenin kamu berangkat sekolah, di sekolah, pulang sekolah, kemanaaaaa aja pokoknya bakal aku temenin !! “ katanya sambil tertawa bahagia.
Aku hanya tersenyum melihatnya tertawa bahagia. Matahari yang mulai terbenam separuh, membuat suasana sore itu mulai gelap. Aku dan dia sama sama berdiri menghadap matahari orange itu menunggu detik detik terbenamnya senja di ufuk barat. Ari menatapku lalu memeluk ku dari samping. “ Merry Christmas sayang… J “ Lalu ia menyibakkan poniku, menatapku, lalu mencium keningku. Aku hanya terdiam sambil memejamkan mataku di dalam pelukan hangatnya.
“Lampung, 24  Desember 2012 . Kita ukir di pohon ini yaa..” katanya sambil menunjuk pohon mahoni yang ada di sebrang jembatan itu.
“Nanti kalo aku di Medan, kamu jangan nakal disini. Tunggu aku disini ya.. di Lampung in love aku janji pasti aku bakalan balik lagi kesini” Ari tersenyum, sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Janji ya” katanya. Aku mengangguk lalu mengacungkan jari kelingkingku dan menggandeng jari kelingkingnya. Lengkung senyum dibibirnya terlihat begitu sempurna, seakan menandakan kebahagian yang sama seperti yang aku rasa.
Ini tahun pertamaku mendapat kejutan natal. Yaa.. Lampung, 24 Desember. Adalah tempat dan tanggal teristimewa. Karna aku yakin matanya tak akan pernah berbohong. Pada ahkhirnya, Tuhan memberiku teman. Aku tak lagi berjalan menyusuri jalanan itu sendirian, aku tak lagi ke jembatan itu sendiri, dan aku tak lagi menatapnya dengan diam diam. Aku akan tetap menunggunya disini ketika ia melanjutkan kuliahnya di Medan nanti. Aku yakinkan hati ini, karena aku tidak salah melihat matanya. Dia yang mewarnai hariku dengan warna warni crayon hidup. Menghapus kesendirianku, dan memberikanku makna Natal yang akan terus terukir disini. Dihatiku, dihidpku. Dan akan terus terlihat disini. Dipohon ini . Di Lampung in Love.

0 komentar:

Posting Komentar