Aku merasa beruntung
bisa kuliah sekaligus ngekost di Pekalongan, karna kota ini menyimpan berbagai
budaya dan masyarakatnya pun masih menjaga dengan baik budaya – budaya itu
secara natural. Tidak hanya terkenal dengan budayanya yang tingi, namun budaya
kuliner tradisionalnya pun senantiasa hadir ditengah modernisasi makanan yang
menjamur dikalangan masyarakat. Seperti sego megono misalnya. Warung Pak Tarno
yang terletak di ujung gang kostan begitu ramai setiap hari karna sego
megononya yang selalu laris di serbu masyarakat sekirar perumahanku. Aku
termasuk salah satu pelanggan setia pak Tarno yang setiap pagi selalu membeli
sego megono sebagai sarapan setiap pagi. Nasi dan sayur megononya benar benar
gurih, apalagi jika dihidangkan ketika panas. Sayur megononya berasal dari
nangka muda yang di cincang halus kemudian di beri bumbu khas urap yang pedas
dengan balutan bumbu kelapa yang gurih. Waw banget !
“Pak.. kenapa ga cari
pekerja buat bantuin disini sih..?? apa ngga repot kalo kerja sendiri gitu ? “
tanyaku yang tengah duduk di kursi panjang yang ada di warung pak Tarno sembari
menunggu pesanan sego megono yang dari tadi tidak kunjung selesai diracik.
Pak Tarno sudah biasa melayani pembeli sendirian.
Hebat ya. Aku aja ribet litany, tapi beliau bisa ‘ngeladenin sebegitu banyaknya
pembeli. Pagi dan siang, semuanya, setiap hari di lakukannya sendiri.
“Pak.. kalo natalan maen kerumah ku yaa… !! deket
kok, di kecamatan Wonokerto sana. ” kataku lagi. Beliau hanya tersenyum sambil
menganggukkan kepalanya sembari mencuci piring bekas pembeli yang baru saja
singgah ke warung sederhana ini.
“Jangan iya iya aja loh.. nanti kalo kalo pas aku
pulang ke rumah, pasti pak Tarno kesepian..” kataku nyerocos tiada henti.
“Iya.. iya nduk.. tenang aja to.. saya juga sudah
pernah kerumah to?? Pasti nanti mampir “ jawab beliau dengan logat jawa yang
masih begitu melekat ketika ia berbicara menggunakan bahasa indonesia. Sebagai
anak kost, aku punya kekurangan, salah satunya ngga bisa masak. Seharusnya,
seorang anak kost itu harus pinter – pinter masak dan yang paling utama adalah
HEMAT DUIT. Karna kebanyakan anak kost
mengalami situasi kritis di ahir bulan ckckck.
Dikostan, aku tinggal
satu kamar dengan temanku yang gaya hidupnya agak agak kebarat – baratan gitu,
jadi ngomongnya juga agak ngga sejalan. Dia doyan banget pergi ke mall dengan
sepatu high hill, rok pendek dan baju yang menurutku mungkin penjahitnya
kehabisan bahan, jadi setengah jadi gitu deh. Aku sendiri bukan tipe wanita glamour,
yang hobi shopping atau hang out ke bar atau tempat – tempat malam lainnya
seperti kebanyakan teman teman sebayaku. Dari pada shopping – shopping ngga
jelas, mending aku tidur kostan sambil nulis nulis novel di bloggerku, atau
traveling, mencari – cari tempat yang natural dan bisa dijadikan tempat untuk
merefresh seluruh penat di otakku. Seperti kawasan pegunungan Petungkriyono
yang terletak di lereng gunung Ragajambangan, ngga jauh dari Kajen, ibu kota
kabupaten Pekalonagan.
Hari ini Dhera teman sekamarku hang out entah
kemana, jadi aku terpaksa tinggal dikamar sendirian.
“Rin..?? lo beneran ngga ikut gw ??” tanya Dhera
ketika ia sibuk menebalkan alis nya dengan pensil alis di depan cermin.
“Ngga ah.. ! kaya ngga tau gue aja lo, gw ngga hobi
shopping ! “ kataku dengan nada yang sedikit gak cetus.
‘Ahh.. lo mah doyannya ‘ngebolang ke hutan hutan
gitu sihhhh..! udah ah.. gue mau cabuut.. ! Daaaaa…”
Aku hanya melambaikan tangan ku sambil tetap konsen
pada laptop yang ada di depan mataku. Biasanya kalo sendirian, kerjaanku cuma
nulis novel sambil dengerin lagu – lagu barat yang romantis, biar imanjinasiku
bisa dituangkan dan di deskripsikan di dalam semua tulisan – tulisan ini.
Sebagai mahasiswa jurusan teknik informatika, mau tidak mau aku harus menghabiskan
waktuku di depan komputer setiap harinya. Entah apapun itu, adaaa aja yang di
otak atik, dan hal itu membuatku jenuh juga pada ahirnya. Terlebih lagi mataku,
seakan dia selalu saja dipaksa bersama otakku, untuk melihat layar monitor yang
merusak mataku.
“Ahh… Bosen !! Ngapain gue kalo kaya gini ?? kalo
tempat pak Tarno, pasti pak Tarno sibuk. Lagian gue juga udah kenyang banget..
ahh.. kemana aja ga papa lah… yang penting ngga jenuh..! “ kataku dalam hati.
Dengan berbekal kamera LSR, hadiah pemberian ayahku ketika aku ulang tahun,
tahun kemarin, aku menutup pintu kostanku lalu berjalan berjalan disekitar
perumahan. Selain kuliah di jurusan informatika, aku juga hobi mengambil gambar
yang bertema sosial dan natural, segala yang indah, yang membuat mata ini
terpukau ketika melihat objek itu. Kadang kalau ada kompetisi fotografer, aku
sering ikut. Walau tidak mennjadi yang pertama, tapi setidaknya aku sudah
berusaha. Di gang sempit ini, banyak sekali anak anak berkeliaran setiap sore,
ada yang bermain kelereng dan ada yang saling berkejar kejaran, mereka punya
permainan sendiri yang bisa membuat mereka bahagia dengan cara sederhanya. Satu
persatu aku membidik anak anak itu dengan kamera ku, dan dengan gayanya yang
lucu, mereka berfose dengan gayanya masing – masing. Aku kembali berjalan
menikmati sore ini. Senja ini cahayanya terasa hangat, matahari yang berwarna
keemasan, memberikan efek cahaya yang pas jika aku membidik objek – objek di
sebelah barat. Waktu terbaik untuk landscape, khususnya sebelum sunset. Aku
duduk dibawah pohon rindang di dekat lapangan bola, tapi kenapa hari ini
lapangan bola ini sepi ?? . Mataku yang dari tadi melihat ke berbagai arah jalanan pun
menemukan sebuah subjek yang cukup membuatku melongo ketika mataku sekelibat
cepat menangkap sosoknya di sudut jalan. Tinggi, putih, cool, sambil duduk
dibawah pohon bersama anak anak kecil sambil bernyanyi dan dia yang memainkan
gitarnya. Aku menatapnya dari kejauhan, kira – kira 20 meter lah jauhnya.
“Omaigatt..!! Dari jauh aja ganteng, apa lagi dari
deket” kataku dalam hati tanpa mau memalingkan mataku dari arah sudut jalan
situ. Aku menemukan view point yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
Jantungku berdebar ketika aku ingin membidiknya dengan kameraku dari kejauhan.
Lama mataku menatapnya dengan tatapan berbinar dari balik kameraku. Aku
berfikir apakah waktu ini tepat untuk mengambil gambar. Tiba – tiba dia menegok
ke arahku dan ketika itu aku menekan tombol shutter release.
“haaah… kena lo !!” . Bidikanku begitu tepat ketika
ia mengarahkan pandangannya ke arahku. Aku langsung pergi dari tempat itu,
sambil tertawa cekikikan. Pasti pria itu menganggapku setengah aneh, tapi tak
apa , asal aku dapet fotonya. Aku berhenti sejenak lalu melihat hasil
bidikanku.
“Yaa ampun..!! Cakep, dan kelihatannya dia sayang
baget sama anak kecil” kataku dalam hati ketika memandangi foto itu. Dia begitu
terlihat sederhana.
“Pasti ini akan jadi kejutan luar biasa buat Dhera,
ngga percuma juga kan aku keluar kostan. Apa ini panggilan alam ya??” Pikirku.
Besok aku akan ketempat itu lagi, siapa tau dia nongkrong di tempat itu lagi.
Sudah 1 tahun ngekost di sini, tapi belum juga ada tambatan hati, siapa tahu
Tuhan menakdirkan aku dan dia atas panggilan alam. Mungkin.
Dhera baru pulang ketika adzan magrib, entah apa
yang dia kerjakan hingga ia pulang begitu sore. Aku hanya diam saja melihat ia
pulang ketika magrib kala itu sambil duduk di ayunan, aku memandangi langit
yang masih tampak keunguan itu sambil memandang foto pria itu. “Bodohnya gue..
!! kenapa ngga zoom aja ya??! “ pikir ku setelah lama memandang foto itu. Foto
itu seakan mempengaruhi pikiranku dan menggodaku untuk memaksaku bermain di
dalamnya atau berimajinasi dengannya. Keinginan yang timbul tanpa sadar.
“Liat dong… liat dong... !! “ kata dhera sambil merebut
kamera LSR yang dari tadi ku pandangi tanpa mau beralih.
“Yaaaelahhhh… ngapain ni cowok lo poto – poto ??
Ngga ada yang laen tah ?? “ katanya lagi setelah melihat gambar itu.
“Emang kenapa??”
“Kampungan banget.. liat tu bajuya, pake batik ?????
omaigatt.. ngga jaman deh. Cowo kece itu makenya kemeja kalo ngga jas.”
Jawabnya dengan nada yang begitu meremehkan. Tapi memang itulah sifat dan
karakternya. L-E-B-A-Y !! Seandainya pak Tarno buka warungnya sampe malem,
pasti tiap hari aku bakalan mampir deh. Tapi sayangnya, rumah pak Tarno jauh
dari warungnya, warung yang diujung gang itu hanyalah warung sederhana milik
orang lain yang disewa untuk usaha kulinernya, aku sendiri tidak pernah tau
dimana rumahnya. Untung saja sego megononya pak Tarno enak, jadi banyak
peminatnya deh.
Sore hari, untuk kedua
kalinya aku pergi ke lapangan bola itu.Tapi masih seperti kemarin, lapangan itu
sepi. Aku melihat ke ujung – ujung dan sudut – sudut jalan, tapi aku tak
menemukan sosoknya. Dimana dia?? . Aku bertanya pada anak – anak yang bermain
di sekitar tempat dia bernyanyi kemarin.
“Dek.. mas mas yang ganteng yang kemarin nyanyi
sambil gitaran disini sama anak kecil itu tau ngga??” tanyaku kepada anak kecil
yang tengah bermain kelereng bersama anak kecil sebayanya.
“Oh.. mas Adit ya mbak??” jawabnya
“Namanya adit yaa??”
“Iya mbak, namanya mas Adit, orangnya baik banget.”
Katanya dengan penuh keyakinan, seolah, Adit itu sudah menjadi teman dekat yang
melekat di kesehariannya.
“Emmm… tau rumahnya ngga dek..??” tanyaku lagi.
“Ngga tau mbak, tapi aku tau tempat kerjanya
dimana..”
“Dimana…??”
“Disana….” Jawabnya sambil menunjuk sebuah rumah
sederhana yang di depan halamannya terdapat banyak kain batik yang sedang
dijemur.
“Dirumah itu…??” kataku sambil berfikir.
“Iyaaa mbak.. dia kerja disitu.. buat batik..”
“Haa?? Batik?? Cowok buat batik ?? ngga salah??”
batinku dalam hati.
Dalam hati aku tak menyangka bahwa pria seganteng
dia, ternyata seorang pembuat batik. Itu membuat kekagumanku dan
keingintahuanku semakin bertambah tentang dia. Hari gini, jarang banget ada
cowok yang mau kerja jadi pembuat batik, itu kan kerjaan yang terlalu cewek
banget. Tapi dia mau melakukan pekerjaan itu tanpa ada rasa malu. Salut deh
sama tu cowok. Sebenernya aku pengen
banget kesana dan belajar membuat batik seperti dia. Katanya kalau buat batik
itu perlu kesabaran, sama dong kaya mencari sebuah objek dalam dunia
fotografer. Sebelum membidik, kita harus tepat, dan sebelum tepat, kita harus
fokus, prinsipnya fotografiku sama seperti membuat batik itu, dan aku yakin aku
pasti bisa. Tapi apa aku harus kesana sekarang ?? aku coba untuk datang ke
tempat itu dan mendaftarkan ke tempat itu sebagai pembuat batik.
“Permisi bu.. disini ada yang namanya Adit ngga?? “
tanya ku kepada ibu – ibu yang tengah menjemur batik batik di halaman.
“Oalah.. Adit to?? Iya.. dia sudah lama kerja disini
nduk..?? memang ada apa ya??” katanya.
“Sekarang dia ada disini?”
“Oh.. kalo sore dia ndak kerja, soalnya dia harus
ikut bapaknya ke sanggar. Sampean pacarnya to ??”
“Haa?? Pacar? Bukan kok buk..” jawabku
“Heleeh.. cewek sini banyak lo yang suka sama dia..
“ katanya sambil menggodaku dengan guyonnan nya.
“Kalo saya kerja disini boleh buk..??”
“Ooo.. boleh.. kebetulan kemaren ada yang udah
keluar, katanya dia ngga mau kerja lagi”
“Tapi, saya maunya beda waktu sama si Adit, kalo
adit kerja pagi, saya kerja malem. Soalnya saja juga kuliah buk.. dan jangan
bilang Adit kalo ada pekerja baru disni” kataku sambil mencatat nomor hapeku.
“nih buk.. nanti hubungin saya ya buk mulai kapan
saya bisa kerja”
“Okee nduk.. beresss” kata ibu paruh baya sambil
mengacungkan kedua jempolnya dengan mata berkedip.
Aku sengaja tidak mengambil waktu bersamaan
dengannya, agar dia tidak tau jika
selama ini aku mengikutinya, termasuk menjadi pembuat batik. Aku rela melepas
waktu travellingku tiap mingu demi cowok yang aku sukai dalam satu kejab
pandangan mata pertama. Ternyata cinta itu hebat ya, bisa tumbuh sekejab dalam
pandanagn pertama. Apa ini yang namanya pandangan pertama ??
Ketika aku pulang Dhera, yang kebarat baratan itu
langsung shock dan kaget setelah mendengar kalau aku akan bekerja paruh waktu
menjadi pembuat batik.
“Pagi sampe siang lo kuliah, malemnya, lo kerja.
Jadi tukang batik pula !! Yang ada ngedrop tuh badan lo ! “kata Dhera yang
berusaha membujukku untuk berfikir ulang.
“Enggak der !! tenang aja !! semua bakal gue lakuin
demi C-I-N-T-A “
“Makan tuh cinta !! Jatuh cinta sama tukang batik.
Ih.. gue mah ngga level, gue maunya sama cowo yang punya mobil ! “ jawab Dhera
dengan gaya songongnya.
Aku hanya terdiam dan bersikap acuh terhadap semua
kata kata songong yang Dhera lontarkan setiap aku sedang memandang foto pria
yang namanya Adit itu. Ingin rasanya melihat wajah Adit itu dari dekat, sukur –
Sukur kalo bisa kenal lebih jauh dan ahirnyaa pacaran deh. Ibu paruh baya itu
menelponku dan beliau menyampaikan kalau besok, aku sudah bisa langsung bekerja
ditempat itu, jadi aku harus menyiapkan diri untuk memulai dunia baru, sebagai
seniman di dunia batik. Dunia yang sudah lama ingin ku geluti sejak dulu. Malam
ini, ingin rasanya bulan ini segera berganti menjadi matahari, aku ingin
segalanya cepat berlalu dan aku ingin melewati senjaku ditempat itu dan
berharap aku bisa melewati senjaku dengan melihat wajahnya walau hanya sedetik.
Sebenarnya aku juga bingung, kenapa aku begitu cepat jatuh cinta baru saja aku
lihat dan sama sekali tidak aku kenal. Kenapa hanya dengan melihat pada
pandangan pertama, semua duniaku seakan berubah ?? sepertinya aku di landa
jatuh cinta pada pandangan pertama. Bahkan setiap aku melihat bulan sabit itu,
aku seakan membayangkan lengkungan bulan itu adalah lengkung senyumnya. Yaa
ampun.. dunia seakan dipenuhi wajah Adit.
Setelah
pulang kuliah, aku langsung ganti baju, lalu pergi kerumah pembuatan batik itu
dengan baju yang apa adanya. Oke.. aku siap…. Aku siap… !!. Di jalan, tanpa
sengaja aku menabrak seorang pria yang tengah berlari terburu – buru.
“Eh.. Adit..” kataku dalam hati ketika aku melihat
wajahnya yang tampak bingung. Dia berdiri lalu menatapku. “Maaf ya..” katanya
sambil menundukkan kepalanya sebagai tanda maaf, lalu ia pergi lagi.
“Eh.. Adit.. “ teriakku. Dia menoleh lalu
mengerutkan keningnya.
“Kok tau nama saya..??”
“Haah.. em.. aku mau juga buru buru..” kataku sambil
ngeluyur pergi. Aku bingung aku harus jawab apa, kalau aku menceritakan
semuanya, pasti dia tau kalau selama ini aku selalu memperhatikannya dari jauh.
Aku berusaha untuk menghindar darinya, lalu pergi
ketempat pembuatan batik itu. Bu Minem yang sudah siap mengajarkanku membatik
telah menyiapkan semua peralatan membatikku dari canting sebagai alat pembentuk
motif, kain mori, gawangan atau tempat menyampirkan kain, lilin, pewarna dan
kompor kecil untuk memanaskan. Tidak mudah ternyata, semua butuh ekstra
kesabaran dan hati – hati, apalagi ketika melukis motif dengan canting yang
berisi lilin cair mengikuti pola yang telah disesuaikan, ini perlu ketelitian,
dan kesabaran dan cukup membuatku sedikit kelelahan karna kain yang lukis
begitu panjang dan lebar. Tahap selanjutnya menutupi bagian yang akan tetap
berwarna, tujuannya adalah supaya saat pencelupan bahan kedalam larutan pewarna,
bagian yang diberi lapisan lilin tidak terkena, lalu proses pewarnaan. Semuanya
aku pelajari dari tahap pertama hingga tahap nglorot dimana kain yang telah berubah warna direbus dengan air
panas, tujuannya untuk menghilangkan lapisan lilin, sehingga motif yang telah
digambar sebelumnya terlihat jelas pada kain. Setiap hari, selama 1 bulan tanpa
ada waktu yang terbuang sedikit pun, aku berusaha untuk mempelajari batik
seperti yang telah di pelajari Adit jauh sebelum aku.
“Buk.. saya boleh ngga, buat motif sendiri ?? satu
ajaaaa..” kataku kepada bu Minem.
“Yowes.. boleh..”
Aku yang sudah lama belajar membatik pun harus bisa
mengasah kemampuanku tanpa tuntunan dari bu Sumi. Aku punya motif tersendiri
untuk ku jadikan kemeja batik yang nantinya akan ku berikan kepada Adit sebagai
hadiah. Yaa.. sebagai tanda kerja keras ku belajar membatik. Motif yang akan ku
gambar adalah motif jlamprang, yaitu motif asli batik Pekalongan dengan motif
semacam nitik yang tergolong motif batik geometris dengan perpaduan warna merah
dan kuning keemasan. Mengerjakan tahap demi tahap tak membutuhkan waktu lama,
jika pekerja bisa gesit dan cekatan, maka bisa lebih cepat.
“Nah.. sekarang tinggal nunggu kering..” kataku
dengan nafas yang begitu lega setelah sekian lama membuat batik cinta itu untuk
Adit, orang yang baru saja ku kenal. Setelah kain batiknya kering, aku
menyempatkan waktuku untuk ke tukang jahit dan merancang desain kemeja batik
yang telah aku rancang dari jauh hari.
“Pokoknya, seminggu harus udah jadi ya mas.. penting
nih.. ! dan satu lagi, jangan sampe kain batiknya rusak” kataku sambil
memberikan kain yang sudah susah payah ku batik dengan model dan motif asli
batik Pekalongan.
Aku merencanakan sebuah hal besar yang nantinya ngga
akan ia duga – duga. Foto Adit yang telah ku cuci itu akan ku bungkus di dalam
sebuah kotak bersamaan dengan batik itu. Semoga saja misiku lancar.
Ketika aku pulang dari konveksi, aku berjalan
melewati warung pak Tarno yang baru akan tutup, biasanya pak Tarno memang tutup
sebelum adzan magrip, tapi kali ini pak Tarno tutup agak malam.
“Pak ?? Tumben agak malem ?? rame ya..??”
“Iya nduk.. anak saya tadi ikut bantuin..” jawabnya
dengan wajah yang sumringah.
“Loh.. punya anak juga toh pak ..? kok ngga
dikenalin sama saya??”
“Di amah orang nya sibuk nduk.. dia orangnya ngga
mau nganggur”
Aku hanya mengangkat alis dan tak sebegitu
menghiraukan dengan sosok si anak yang diceritakan pak Tarno tersebut,
sepertinya anak itu anak yang berbakti pada orang tua.
“Oh.. gitu ya pak.. hehe.. yaudah pak, saya pulang
dulu deh..”
“O.. njeh nduk..”
Malam itu, malam yang mendebarkan bagiku, aku
berfikir, apakah aku siap melihat wajahnya dari dekat?? Tapi aku sadar,
ternyata cinta itu bisa datang kapan saja, dan bagaimana pun kondisinya. Aku
korban cinta pandangan pertama, dengan modal hanya melihat wajahnya dari jauh
saja, aku sudah bisa menaruh rasa cinta itu padanya. Tapi ada juga yang bisa
saling jatuh cinta tanpa pernah melihat wajahnya, hanya bermodalkan smsan saja.
Itulah hebatnya cinta.
Seminggu kemudian, seperti yang telah ku pesankan
pada tukang jahit, kemeja itu harus sudah jadi. Dan untunglah tukang jahit itu
mau menyelesaikan pesananku tepat pada waktu yang telah di janjikan kala itu,
walau dengan bayaran mahal, aku menyanggupi asal batik cinta buat Adit bisa
jadi tepat pada waktunya.
“Selesai….!! “ . Aku meletakkan kotak yang dibalut
kertas dengan warna merah yang dihiasi pita berwarna silver itu di atas meja
belajarku. Aku berencana menunggunya pulang ketika sore nanti lalu memberikan
hadiah ini untuknya.
Sore harinya, seperti yang telah tertata pada
otakku, aku duduk di dekat lapangan itu sambil mengamati jalanan disekitarku.
Mataku mengawasi tempat pembuatan batik itu dan berharap Adit pulang lewat
jalan sini. Seperti yang telah di duga, ini adalah jamnya untuk pulang, dan aku
sengaja menunggu di dekat lapangan ini karena aku tau ini adalah jalan
pulangnya.
“Loh.. kenapa dia ngga lewat jalan sana?? Mau kemana
dia??” kataku dalam hati ketika melihat Adit berjalan melewati jalan yang
berbeda. Aku yang dibuat bingung oleh si pria misterius itu pun mengikuti
langkahnya sedikit demi sedikit. Dia yang berjalan dengan santainya pun terkadang
berhenti dan menengok ke belakang, untungnya aku memakai jaket untuk misi
penyamaranku kali ini.
“hah.. Sanggar..??” . Adit berhenti pada sebuah
sanggar dimana disitu banyak alat alat musik tradisional seperti gamelean. Aku
yang setengah kaget pun hanya bisa berdiri di depan pintu sanggar sambil
melihat Adit yang sedang menyapa seluruh pemain gamelan disana.
“Ndukk….??”
“Pak Tarno..??” kataku dengan ekspresi wajah yang
kaget.
“kamu ngapain maen sampe sini?? Apa temen mu juga
disini??” kata pak tarno yang hendak masuk ke sanggar tersebut.
“Enggg.. iya pak.. temen saya disini..”
“Ooo.. yaudah.. kebetulan.. ayo masuk..”
“Emm.. tapi pak.. saya.. emm.. itu pak.. anu..”
“opo…? Kamu malu kan?? Wes.. ayo masuk..”
Aku yang gugup pun tak bisa menolak ajakan pak Tarno
untuk masuk ke sanggar yang di penuhi para seniman tradisional itu, ada yang
menabuh gendang, memainkan gamelan, ada penari sintren dan ada pula yang sedang
berlatih teater drama tradisional. Semua seni serta kebudayaan khas Pekalongan
tercium disini, suasananya, musiknya, semuanya memiliki nilai budaya yang
selama ini masih belum banyak ku ketahui.
“Mau makan sego megono nggak kamu nduk?? “tanya pak
Tarno yang tengah duduk disampingku sambil melihat penari sintren yang sedang
berlatih kala itu.
“Yaa mau lah pak.. hehe, aku mah nggak nolak..”
“Yo.. sabar.. itu lagi di buatin.. kalo saya pulang,
anak saya selalu buatin saya sego megono”
“Ini sanggarnya pak Tarno ya..??” tanyaku yang mulai
penasaran.
“Bukan.. ini sanggar anak saya..”
“Anak pak Tarno juga latihan disini??”
“Yo iyo.. anak saya mana bisa kalo disuruh nganggur”
. Sambil terus mencari Adit yang hilang entah kemana, mataku melihat ke sudut
ruangan dan arsitektur sanggar tersebut.
“Ini pak..”
“Astagaa.. Adit” kataku dalam hati ketika melihat ia
mengantarkan sepiring sego megono dan meletakannya di meja.
“Nah ini anak saya.. ayo nduk.. dimakan dulu.. saya
mau kebelakang sebentar” kata pak Tarno.
“Le.. ini Rinda.. langganan bapak yang sering tak
ceritakan ke kamu itu lo.. tolong ditemenin dulu ya..” kata pak Tarno lagi
kepada Adit.
Nafasku beku dan jantungku berdetak kencang, hari
ini harusnya aku yang memberi surprise kepada Adit, tapi justru beda ceritanya.
Adit hanya tersenyum sambil mencuri – curi pandang ketika mataku beralih
ketempat lain.
“Dimakan loh, mumpung masih anget.. ini kesukaan
kamu kan, Rin??” kata Adit dengan penuh keramahan.
“Eh,, iya iya..”
“Aku udah buat special loh buat kamu” katanya
Sedikit – sedikit aku mulai bisa mengendalikan
perasaan kaku yang sejak tadi menghambat mulutku untuk bicara, ternyata dia
jauh berbeda dengan apa yang ku bayangkan, dia ramah, dan humoris. Tadinya aku
pikir dia agak pendiam seperti pak Tarno, ternyata dia orang yang ramah dan
tipe orang pekerja keras. Aku mulai luwes berbicara tanpa ada rasa takut
sedikitpun. Pertemuan yang baru beberapa menit itu seolah seperti perkenalan
yang dimulai bertahun - tahun lamnya.
“Eh.. tau ngga.. tadi aku kesini ngapain??” tanyaku
di sela – sela pembicaraan.
“Kamu ngikutin aku kan??” katanya sambil senyum –
senyum.
“Eh.. kok tau..??”
“Hey.. aku juga sering perhatiin kamu kaleeee..”
“Yaelah.. ternyataaaaa… pengintai juga..?? tapi sebenernya, aku punya
sesuatu untu aku kasih ke kamu..” kataku sambil mengambil kotak merah dengan
pita putih yang ada di dalam tasku.
“Waahhh… Indonesia banget..! warna merah.. warna
kesukaan ku.. !! aku buka sekarang boleh?? “
Aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum.
“Yaampunn.. bagus banget Rin.. warnanya merah
lagi..” .
Adit terdiam sejenak ketika ia melihat fotonya kala
ia sedang bermain gitar bersama anak – anak dibawah pohon, dekat lapangan.
“aku jatuh cinta pada pandangan pertama dit… aku
cuma sekedar liat kamu, tanpa aku tau sifat kamu. Tapi semua itu udah cukup
buat aku jatuh cinta sama kamu. Sampe ahirnya aku ngikutin kamu dan belajar
membatik di tempat kamu kerja itu. Sayangkan kalo tinggal di kota batik, tapi
kita sendiri ngga bisa membatik..?? Makasih ya dit.. udah jadi inspirasiku
mengenal seni lebih jauh..” kataku sambil tersenyum dan menatap matanya dengan
penuh perasaan.
“Harusnya aku yang berterimakasih karna bisa ketemu
bidadari kaya kamu, dan kamu juga udah rela belajar membatik” jawab Adit
“Dit.. aku tau banyak bidadari di sekelilingmu, tapi
pangeran yang paling baik yang pernah ada itu cuma kamu. Kamu datang disaat aku
sendiri dan kamu mengulurkan tanganmu untuk menuntunku ikut bersamamu.. dan
ternyata kamu emang beda kan dari cowo lain?? Cowo jaman sekarang berlomba –
lomba untuk mengejar gaya yang modern, tapi kamu?? Cinta budaya.
Sederhana..tapi menurutku itu luar biasa..!! “ kataku lagi.
Adit hanya terdiam dan menatapku dengan senyuman
manisnya
“Jadi kita impas kan?? aku kan udah buatin sego megono special buat kamu, dan kamu udah buatin aku batik cinta khusus buat aku”
Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Yaa..
setidaknya sekarang aku bisa tau sosok Adit lebih dalam, aku tidak lagi
menatapnya melalui sebuah foto, tidak lagi menatapnya diam – diam dibalik
pohon, tidak lagi aku mengikutinya diam – diam, karna dia ada di depanku
mataku, hadir disetiap hari – hariku, dan bersanding disampingku. Sekarang aku
punya waktu. Ya.. waktu untuk melihatnya lebih dekat sebagai penginspirasiku.
Aku juga punya lebih banyak waktu. Yaa.. waktu untuk membagi cerita dan
senyuman. Hariku mulai terasa berwarna ketika aku menemukan sosok yang selama
ini ku cari, mencintai budaya, dan tentunya menemaniku dikala aku sendiri. Aku
punya teman tapi bukan sekedar teman, teman yang selalu menghapus air mataku
dan teman yang selalu berjalan disampingku untuk selalu menjagaku. Hanya
sepintas saja aku melihat wajahnya, Tuhan sudah menakdirkanku untuh jatuh cinta
padanya, tapi mungkin inilah jalannya. Setidaknya aku punya orang yang selalu
ada untukku selama aku ada di Pekalongan. Yaa.. selama itulah aku belajar lebih
dalam lagi tentang dia dan budaya Pekalongan.
0 komentar:
Posting Komentar