Kamis, 27 Desember 2012

Batik Cinta dan Sego Megono dari Pekalongan



Aku merasa beruntung bisa kuliah sekaligus ngekost di Pekalongan, karna kota ini menyimpan berbagai budaya dan masyarakatnya pun masih menjaga dengan baik budaya – budaya itu secara natural. Tidak hanya terkenal dengan budayanya yang tingi, namun budaya kuliner tradisionalnya pun senantiasa hadir ditengah modernisasi makanan yang menjamur dikalangan masyarakat. Seperti sego megono misalnya. Warung Pak Tarno yang terletak di ujung gang kostan begitu ramai setiap hari karna sego megononya yang selalu laris di serbu masyarakat sekirar perumahanku. Aku termasuk salah satu pelanggan setia pak Tarno yang setiap pagi selalu membeli sego megono sebagai sarapan setiap pagi. Nasi dan sayur megononya benar benar gurih, apalagi jika dihidangkan ketika panas. Sayur megononya berasal dari nangka muda yang di cincang halus kemudian di beri bumbu khas urap yang pedas dengan balutan bumbu kelapa yang gurih. Waw banget !
“Pak.. kenapa ga cari pekerja buat bantuin disini sih..?? apa ngga repot kalo kerja sendiri gitu ? “ tanyaku yang tengah duduk di kursi panjang yang ada di warung pak Tarno sembari menunggu pesanan sego megono yang dari tadi tidak kunjung selesai diracik.
Pak Tarno sudah biasa melayani pembeli sendirian. Hebat ya. Aku aja ribet litany, tapi beliau bisa ‘ngeladenin sebegitu banyaknya pembeli. Pagi dan siang, semuanya, setiap hari di lakukannya sendiri.
“Pak.. kalo natalan maen kerumah ku yaa… !! deket kok, di kecamatan Wonokerto sana. ” kataku lagi. Beliau hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya sembari mencuci piring bekas pembeli yang baru saja singgah ke warung sederhana ini.
“Jangan iya iya aja loh.. nanti kalo kalo pas aku pulang ke rumah, pasti pak Tarno kesepian..” kataku nyerocos tiada henti.
“Iya.. iya nduk.. tenang aja to.. saya juga sudah pernah kerumah to?? Pasti nanti mampir “ jawab beliau dengan logat jawa yang masih begitu melekat ketika ia berbicara menggunakan bahasa indonesia. Sebagai anak kost, aku punya kekurangan, salah satunya ngga bisa masak. Seharusnya, seorang anak kost itu harus pinter – pinter masak dan yang paling utama adalah HEMAT DUIT.  Karna kebanyakan anak kost mengalami situasi kritis di ahir bulan ckckck.
Dikostan, aku tinggal satu kamar dengan temanku yang gaya hidupnya agak agak kebarat – baratan gitu, jadi ngomongnya juga agak ngga sejalan. Dia doyan banget pergi ke mall dengan sepatu high hill, rok pendek dan baju yang menurutku mungkin penjahitnya kehabisan bahan, jadi setengah jadi gitu deh. Aku sendiri bukan tipe wanita glamour, yang hobi shopping atau hang out ke bar atau tempat – tempat malam lainnya seperti kebanyakan teman teman sebayaku. Dari pada shopping – shopping ngga jelas, mending aku tidur kostan sambil nulis nulis novel di bloggerku, atau traveling, mencari – cari tempat yang natural dan bisa dijadikan tempat untuk merefresh seluruh penat di otakku. Seperti kawasan pegunungan Petungkriyono yang terletak di lereng gunung Ragajambangan, ngga jauh dari Kajen, ibu kota kabupaten Pekalonagan.
Hari ini Dhera teman sekamarku hang out entah kemana, jadi aku terpaksa tinggal dikamar sendirian.
“Rin..?? lo beneran ngga ikut gw ??” tanya Dhera ketika ia sibuk menebalkan alis nya dengan pensil alis di depan cermin.
“Ngga ah.. ! kaya ngga tau gue aja lo, gw ngga hobi shopping ! “ kataku dengan nada yang sedikit gak cetus.
‘Ahh.. lo mah doyannya ‘ngebolang ke hutan hutan gitu sihhhh..! udah ah.. gue mau cabuut.. ! Daaaaa…”
Aku hanya melambaikan tangan ku sambil tetap konsen pada laptop yang ada di depan mataku. Biasanya kalo sendirian, kerjaanku cuma nulis novel sambil dengerin lagu – lagu barat yang romantis, biar imanjinasiku bisa dituangkan dan di deskripsikan di dalam semua tulisan – tulisan ini. Sebagai mahasiswa jurusan teknik informatika, mau tidak mau aku harus menghabiskan waktuku di depan komputer setiap harinya. Entah apapun itu, adaaa aja yang di otak atik, dan hal itu membuatku jenuh juga pada ahirnya. Terlebih lagi mataku, seakan dia selalu saja dipaksa bersama otakku, untuk melihat layar monitor yang merusak mataku.
“Ahh… Bosen !! Ngapain gue kalo kaya gini ?? kalo tempat pak Tarno, pasti pak Tarno sibuk. Lagian gue juga udah kenyang banget.. ahh.. kemana aja ga papa lah… yang penting ngga jenuh..! “ kataku dalam hati. Dengan berbekal kamera LSR, hadiah pemberian ayahku ketika aku ulang tahun, tahun kemarin, aku menutup pintu kostanku lalu berjalan berjalan disekitar perumahan. Selain kuliah di jurusan informatika, aku juga hobi mengambil gambar yang bertema sosial dan natural, segala yang indah, yang membuat mata ini terpukau ketika melihat objek itu. Kadang kalau ada kompetisi fotografer, aku sering ikut. Walau tidak mennjadi yang pertama, tapi setidaknya aku sudah berusaha. Di gang sempit ini, banyak sekali anak anak berkeliaran setiap sore, ada yang bermain kelereng dan ada yang saling berkejar kejaran, mereka punya permainan sendiri yang bisa membuat mereka bahagia dengan cara sederhanya. Satu persatu aku membidik anak anak itu dengan kamera ku, dan dengan gayanya yang lucu, mereka berfose dengan gayanya masing – masing. Aku kembali berjalan menikmati sore ini. Senja ini cahayanya terasa hangat, matahari yang berwarna keemasan, memberikan efek cahaya yang pas jika aku membidik objek – objek di sebelah barat. Waktu terbaik untuk landscape, khususnya sebelum sunset. Aku duduk dibawah pohon rindang di dekat lapangan bola, tapi kenapa hari ini lapangan bola ini sepi ?? . Mataku yang dari tadi  melihat ke berbagai arah jalanan pun menemukan sebuah subjek yang cukup membuatku melongo ketika mataku sekelibat cepat menangkap sosoknya di sudut jalan. Tinggi, putih, cool, sambil duduk dibawah pohon bersama anak anak kecil sambil bernyanyi dan dia yang memainkan gitarnya. Aku menatapnya dari kejauhan, kira – kira 20 meter lah jauhnya.
“Omaigatt..!! Dari jauh aja ganteng, apa lagi dari deket” kataku dalam hati tanpa mau memalingkan mataku dari arah sudut jalan situ. Aku menemukan view point yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Jantungku berdebar ketika aku ingin membidiknya dengan kameraku dari kejauhan. Lama mataku menatapnya dengan tatapan berbinar dari balik kameraku. Aku berfikir apakah waktu ini tepat untuk mengambil gambar. Tiba – tiba dia menegok ke arahku dan ketika itu aku menekan tombol shutter release.
“haaah… kena lo !!” . Bidikanku begitu tepat ketika ia mengarahkan pandangannya ke arahku. Aku langsung pergi dari tempat itu, sambil tertawa cekikikan. Pasti pria itu menganggapku setengah aneh, tapi tak apa , asal aku dapet fotonya. Aku berhenti sejenak lalu melihat hasil bidikanku.
“Yaa ampun..!! Cakep, dan kelihatannya dia sayang baget sama anak kecil” kataku dalam hati ketika memandangi foto itu. Dia begitu terlihat sederhana.
“Pasti ini akan jadi kejutan luar biasa buat Dhera, ngga percuma juga kan aku keluar kostan. Apa ini panggilan alam ya??” Pikirku. Besok aku akan ketempat itu lagi, siapa tau dia nongkrong di tempat itu lagi. Sudah 1 tahun ngekost di sini, tapi belum juga ada tambatan hati, siapa tahu Tuhan menakdirkan aku dan dia atas panggilan alam. Mungkin.
Dhera baru pulang ketika adzan magrib, entah apa yang dia kerjakan hingga ia pulang begitu sore. Aku hanya diam saja melihat ia pulang ketika magrib kala itu sambil duduk di ayunan, aku memandangi langit yang masih tampak keunguan itu sambil memandang foto pria itu. “Bodohnya gue.. !! kenapa ngga zoom aja ya??! “ pikir ku setelah lama memandang foto itu. Foto itu seakan mempengaruhi pikiranku dan menggodaku untuk memaksaku bermain di dalamnya atau berimajinasi dengannya. Keinginan yang timbul tanpa sadar.
“Liat dong… liat dong... !! “ kata dhera sambil merebut kamera LSR yang dari tadi ku pandangi tanpa mau beralih.
“Yaaaelahhhh… ngapain ni cowok lo poto – poto ?? Ngga ada yang laen tah ?? “ katanya lagi setelah melihat gambar itu.
“Emang kenapa??”
“Kampungan banget.. liat tu bajuya, pake batik ????? omaigatt.. ngga jaman deh. Cowo kece itu makenya kemeja kalo ngga jas.” Jawabnya dengan nada yang begitu meremehkan. Tapi memang itulah sifat dan karakternya. L-E-B-A-Y !! Seandainya pak Tarno buka warungnya sampe malem, pasti tiap hari aku bakalan mampir deh. Tapi sayangnya, rumah pak Tarno jauh dari warungnya, warung yang diujung gang itu hanyalah warung sederhana milik orang lain yang disewa untuk usaha kulinernya, aku sendiri tidak pernah tau dimana rumahnya. Untung saja sego megononya pak Tarno enak, jadi banyak peminatnya deh.
Sore hari, untuk kedua kalinya aku pergi ke lapangan bola itu.Tapi masih seperti kemarin, lapangan itu sepi. Aku melihat ke ujung – ujung dan sudut – sudut jalan, tapi aku tak menemukan sosoknya. Dimana dia?? . Aku bertanya pada anak – anak yang bermain di sekitar tempat dia bernyanyi kemarin.
“Dek.. mas mas yang ganteng yang kemarin nyanyi sambil gitaran disini sama anak kecil itu tau ngga??” tanyaku kepada anak kecil yang tengah bermain kelereng bersama anak kecil sebayanya.
“Oh.. mas Adit ya mbak??” jawabnya
“Namanya adit yaa??”
“Iya mbak, namanya mas Adit, orangnya baik banget.” Katanya dengan penuh keyakinan, seolah, Adit itu sudah menjadi teman dekat yang melekat di kesehariannya.
“Emmm… tau rumahnya ngga dek..??” tanyaku lagi.
“Ngga tau mbak, tapi aku tau tempat kerjanya dimana..”
“Dimana…??”
“Disana….” Jawabnya sambil menunjuk sebuah rumah sederhana yang di depan halamannya terdapat banyak kain batik yang sedang dijemur.
“Dirumah itu…??” kataku sambil berfikir.
“Iyaaa mbak.. dia kerja disitu.. buat batik..”
“Haa?? Batik?? Cowok buat batik ?? ngga salah??” batinku dalam hati.
Dalam hati aku tak menyangka bahwa pria seganteng dia, ternyata seorang pembuat batik. Itu membuat kekagumanku dan keingintahuanku semakin bertambah tentang dia. Hari gini, jarang banget ada cowok yang mau kerja jadi pembuat batik, itu kan kerjaan yang terlalu cewek banget. Tapi dia mau melakukan pekerjaan itu tanpa ada rasa malu. Salut deh sama tu cowok.  Sebenernya aku pengen banget kesana dan belajar membuat batik seperti dia. Katanya kalau buat batik itu perlu kesabaran, sama dong kaya mencari sebuah objek dalam dunia fotografer. Sebelum membidik, kita harus tepat, dan sebelum tepat, kita harus fokus, prinsipnya fotografiku sama seperti membuat batik itu, dan aku yakin aku pasti bisa. Tapi apa aku harus kesana sekarang ?? aku coba untuk datang ke tempat itu dan mendaftarkan ke tempat itu sebagai pembuat batik.
“Permisi bu.. disini ada yang namanya Adit ngga?? “ tanya ku kepada ibu – ibu yang tengah menjemur batik batik di halaman.
“Oalah.. Adit to?? Iya.. dia sudah lama kerja disini nduk..?? memang ada apa ya??” katanya.
“Sekarang dia ada disini?”
“Oh.. kalo sore dia ndak kerja, soalnya dia harus ikut bapaknya ke sanggar. Sampean pacarnya to ??”
“Haa?? Pacar? Bukan kok buk..” jawabku
“Heleeh.. cewek sini banyak lo yang suka sama dia.. “ katanya sambil menggodaku dengan guyonnan nya.
“Kalo saya kerja disini boleh buk..??”
“Ooo.. boleh.. kebetulan kemaren ada yang udah keluar, katanya dia ngga mau kerja lagi”
“Tapi, saya maunya beda waktu sama si Adit, kalo adit kerja pagi, saya kerja malem. Soalnya saja juga kuliah buk.. dan jangan bilang Adit kalo ada pekerja baru disni” kataku sambil mencatat nomor hapeku.
“nih buk.. nanti hubungin saya ya buk mulai kapan saya bisa kerja”
“Okee nduk.. beresss” kata ibu paruh baya sambil mengacungkan kedua jempolnya dengan mata berkedip.
Aku sengaja tidak mengambil waktu bersamaan dengannya, agar dia tidak tau  jika selama ini aku mengikutinya, termasuk menjadi pembuat batik. Aku rela melepas waktu travellingku tiap mingu demi cowok yang aku sukai dalam satu kejab pandangan mata pertama. Ternyata cinta itu hebat ya, bisa tumbuh sekejab dalam pandanagn pertama. Apa ini yang namanya pandangan pertama ??
Ketika aku pulang Dhera, yang kebarat baratan itu langsung shock dan kaget setelah mendengar kalau aku akan bekerja paruh waktu menjadi pembuat batik.
“Pagi sampe siang lo kuliah, malemnya, lo kerja. Jadi tukang batik pula !! Yang ada ngedrop tuh badan lo ! “kata Dhera yang berusaha membujukku untuk berfikir ulang.
“Enggak der !! tenang aja !! semua bakal gue lakuin demi C-I-N-T-A “
“Makan tuh cinta !! Jatuh cinta sama tukang batik. Ih.. gue mah ngga level, gue maunya sama cowo yang punya mobil ! “ jawab Dhera dengan gaya songongnya.
Aku hanya terdiam dan bersikap acuh terhadap semua kata kata songong yang Dhera lontarkan setiap aku sedang memandang foto pria yang namanya Adit itu. Ingin rasanya melihat wajah Adit itu dari dekat, sukur – Sukur kalo bisa kenal lebih jauh dan ahirnyaa pacaran deh. Ibu paruh baya itu menelponku dan beliau menyampaikan kalau besok, aku sudah bisa langsung bekerja ditempat itu, jadi aku harus menyiapkan diri untuk memulai dunia baru, sebagai seniman di dunia batik. Dunia yang sudah lama ingin ku geluti sejak dulu. Malam ini, ingin rasanya bulan ini segera berganti menjadi matahari, aku ingin segalanya cepat berlalu dan aku ingin melewati senjaku ditempat itu dan berharap aku bisa melewati senjaku dengan melihat wajahnya walau hanya sedetik. Sebenarnya aku juga bingung, kenapa aku begitu cepat jatuh cinta baru saja aku lihat dan sama sekali tidak aku kenal. Kenapa hanya dengan melihat pada pandangan pertama, semua duniaku seakan berubah ?? sepertinya aku di landa jatuh cinta pada pandangan pertama. Bahkan setiap aku melihat bulan sabit itu, aku seakan membayangkan lengkungan bulan itu adalah lengkung senyumnya. Yaa ampun.. dunia seakan dipenuhi wajah Adit.
            Setelah pulang kuliah, aku langsung ganti baju, lalu pergi kerumah pembuatan batik itu dengan baju yang apa adanya. Oke.. aku siap…. Aku siap… !!. Di jalan, tanpa sengaja aku menabrak seorang pria yang tengah berlari terburu – buru.
“Eh.. Adit..” kataku dalam hati ketika aku melihat wajahnya yang tampak bingung. Dia berdiri lalu menatapku. “Maaf ya..” katanya sambil menundukkan kepalanya sebagai tanda maaf, lalu ia pergi lagi.
“Eh.. Adit.. “ teriakku. Dia menoleh lalu mengerutkan keningnya.
“Kok tau nama saya..??”
“Haah.. em.. aku mau juga buru buru..” kataku sambil ngeluyur pergi. Aku bingung aku harus jawab apa, kalau aku menceritakan semuanya, pasti dia tau kalau selama ini aku selalu memperhatikannya dari jauh.
Aku berusaha untuk menghindar darinya, lalu pergi ketempat pembuatan batik itu. Bu Minem yang sudah siap mengajarkanku membatik telah menyiapkan semua peralatan membatikku dari canting sebagai alat pembentuk motif, kain mori, gawangan atau tempat menyampirkan kain, lilin, pewarna dan kompor kecil untuk memanaskan. Tidak mudah ternyata, semua butuh ekstra kesabaran dan hati – hati, apalagi ketika melukis motif dengan canting yang berisi lilin cair mengikuti pola yang telah disesuaikan, ini perlu ketelitian, dan kesabaran dan cukup membuatku sedikit kelelahan karna kain yang lukis begitu panjang dan lebar. Tahap selanjutnya menutupi bagian yang akan tetap berwarna, tujuannya adalah supaya saat pencelupan bahan kedalam larutan pewarna, bagian yang diberi lapisan lilin tidak terkena, lalu proses pewarnaan. Semuanya aku pelajari dari tahap pertama hingga tahap nglorot dimana kain yang telah berubah warna direbus dengan air panas, tujuannya untuk menghilangkan lapisan lilin, sehingga motif yang telah digambar sebelumnya terlihat jelas pada kain. Setiap hari, selama 1 bulan tanpa ada waktu yang terbuang sedikit pun, aku berusaha untuk mempelajari batik seperti yang telah di pelajari Adit jauh sebelum aku.
“Buk.. saya boleh ngga, buat motif sendiri ?? satu ajaaaa..” kataku kepada bu Minem.
“Yowes.. boleh..”
Aku yang sudah lama belajar membatik pun harus bisa mengasah kemampuanku tanpa tuntunan dari bu Sumi. Aku punya motif tersendiri untuk ku jadikan kemeja batik yang nantinya akan ku berikan kepada Adit sebagai hadiah. Yaa.. sebagai tanda kerja keras ku belajar membatik. Motif yang akan ku gambar adalah motif jlamprang, yaitu motif asli batik Pekalongan dengan motif semacam nitik yang tergolong motif batik geometris dengan perpaduan warna merah dan kuning keemasan. Mengerjakan tahap demi tahap tak membutuhkan waktu lama, jika pekerja bisa gesit dan cekatan, maka bisa lebih cepat.
“Nah.. sekarang tinggal nunggu kering..” kataku dengan nafas yang begitu lega setelah sekian lama membuat batik cinta itu untuk Adit, orang yang baru saja ku kenal. Setelah kain batiknya kering, aku menyempatkan waktuku untuk ke tukang jahit dan merancang desain kemeja batik yang telah aku rancang dari jauh hari.
“Pokoknya, seminggu harus udah jadi ya mas.. penting nih.. ! dan satu lagi, jangan sampe kain batiknya rusak” kataku sambil memberikan kain yang sudah susah payah ku batik dengan model dan motif asli batik Pekalongan.
Aku merencanakan sebuah hal besar yang nantinya ngga akan ia duga – duga. Foto Adit yang telah ku cuci itu akan ku bungkus di dalam sebuah kotak bersamaan dengan batik itu. Semoga saja misiku lancar.
Ketika aku pulang dari konveksi, aku berjalan melewati warung pak Tarno yang baru akan tutup, biasanya pak Tarno memang tutup sebelum adzan magrip, tapi kali ini pak Tarno tutup agak malam.
“Pak ?? Tumben agak malem ?? rame ya..??”
“Iya nduk.. anak saya tadi ikut bantuin..” jawabnya dengan wajah yang sumringah.
“Loh.. punya anak juga toh pak ..? kok ngga dikenalin sama saya??”
“Di amah orang nya sibuk nduk.. dia orangnya ngga mau nganggur”
Aku hanya mengangkat alis dan tak sebegitu menghiraukan dengan sosok si anak yang diceritakan pak Tarno tersebut, sepertinya anak itu anak yang berbakti pada orang tua.
“Oh.. gitu ya pak.. hehe.. yaudah pak, saya pulang dulu deh..”
“O.. njeh nduk..”
Malam itu, malam yang mendebarkan bagiku, aku berfikir, apakah aku siap melihat wajahnya dari dekat?? Tapi aku sadar, ternyata cinta itu bisa datang kapan saja, dan bagaimana pun kondisinya. Aku korban cinta pandangan pertama, dengan modal hanya melihat wajahnya dari jauh saja, aku sudah bisa menaruh rasa cinta itu padanya. Tapi ada juga yang bisa saling jatuh cinta tanpa pernah melihat wajahnya, hanya bermodalkan smsan saja. Itulah hebatnya cinta.
Seminggu kemudian, seperti yang telah ku pesankan pada tukang jahit, kemeja itu harus sudah jadi. Dan untunglah tukang jahit itu mau menyelesaikan pesananku tepat pada waktu yang telah di janjikan kala itu, walau dengan bayaran mahal, aku menyanggupi asal batik cinta buat Adit bisa jadi tepat pada waktunya.
“Selesai….!! “ . Aku meletakkan kotak yang dibalut kertas dengan warna merah yang dihiasi pita berwarna silver itu di atas meja belajarku. Aku berencana menunggunya pulang ketika sore nanti lalu memberikan hadiah ini untuknya.
Sore harinya, seperti yang telah tertata pada otakku, aku duduk di dekat lapangan itu sambil mengamati jalanan disekitarku. Mataku mengawasi tempat pembuatan batik itu dan berharap Adit pulang lewat jalan sini. Seperti yang telah di duga, ini adalah jamnya untuk pulang, dan aku sengaja menunggu di dekat lapangan ini karena aku tau ini adalah jalan pulangnya.
“Loh.. kenapa dia ngga lewat jalan sana?? Mau kemana dia??” kataku dalam hati ketika melihat Adit berjalan melewati jalan yang berbeda. Aku yang dibuat bingung oleh si pria misterius itu pun mengikuti langkahnya sedikit demi sedikit. Dia yang berjalan dengan santainya pun terkadang berhenti dan menengok ke belakang, untungnya aku memakai jaket untuk misi penyamaranku kali ini.
“hah.. Sanggar..??” . Adit berhenti pada sebuah sanggar dimana disitu banyak alat alat musik tradisional seperti gamelean. Aku yang setengah kaget pun hanya bisa berdiri di depan pintu sanggar sambil melihat Adit yang sedang menyapa seluruh pemain gamelan disana.
“Ndukk….??”
“Pak Tarno..??” kataku dengan ekspresi wajah yang kaget.
“kamu ngapain maen sampe sini?? Apa temen mu juga disini??” kata pak tarno yang hendak masuk ke sanggar tersebut.
“Enggg.. iya pak.. temen saya disini..”
“Ooo.. yaudah.. kebetulan.. ayo masuk..”
“Emm.. tapi pak.. saya.. emm.. itu pak.. anu..”
“opo…? Kamu malu kan?? Wes.. ayo masuk..”
Aku yang gugup pun tak bisa menolak ajakan pak Tarno untuk masuk ke sanggar yang di penuhi para seniman tradisional itu, ada yang menabuh gendang, memainkan gamelan, ada penari sintren dan ada pula yang sedang berlatih teater drama tradisional. Semua seni serta kebudayaan khas Pekalongan tercium disini, suasananya, musiknya, semuanya memiliki nilai budaya yang selama ini masih belum banyak ku ketahui.
“Mau makan sego megono nggak kamu nduk?? “tanya pak Tarno yang tengah duduk disampingku sambil melihat penari sintren yang sedang berlatih kala itu.
“Yaa mau lah pak.. hehe, aku mah nggak nolak..”
“Yo.. sabar.. itu lagi di buatin.. kalo saya pulang, anak saya selalu buatin saya sego megono”
“Ini sanggarnya pak Tarno ya..??” tanyaku yang mulai penasaran.
“Bukan.. ini sanggar anak saya..”
“Anak pak Tarno juga latihan disini??”
“Yo iyo.. anak saya mana bisa kalo disuruh nganggur” . Sambil terus mencari Adit yang hilang entah kemana, mataku melihat ke sudut ruangan dan arsitektur sanggar tersebut.
“Ini pak..”
“Astagaa.. Adit” kataku dalam hati ketika melihat ia mengantarkan sepiring sego megono dan meletakannya di meja.
“Nah ini anak saya.. ayo nduk.. dimakan dulu.. saya mau kebelakang sebentar” kata pak Tarno.
“Le.. ini Rinda.. langganan bapak yang sering tak ceritakan ke kamu itu lo.. tolong ditemenin dulu ya..” kata pak Tarno lagi kepada Adit.
Nafasku beku dan jantungku berdetak kencang, hari ini harusnya aku yang memberi surprise kepada Adit, tapi justru beda ceritanya. Adit hanya tersenyum sambil mencuri – curi pandang ketika mataku beralih ketempat lain.
“Dimakan loh, mumpung masih anget.. ini kesukaan kamu kan, Rin??” kata Adit dengan penuh keramahan.
“Eh,, iya iya..”
“Aku udah buat special loh buat kamu” katanya
Sedikit – sedikit aku mulai bisa mengendalikan perasaan kaku yang sejak tadi menghambat mulutku untuk bicara, ternyata dia jauh berbeda dengan apa yang ku bayangkan, dia ramah, dan humoris. Tadinya aku pikir dia agak pendiam seperti pak Tarno, ternyata dia orang yang ramah dan tipe orang pekerja keras. Aku mulai luwes berbicara tanpa ada rasa takut sedikitpun. Pertemuan yang baru beberapa menit itu seolah seperti perkenalan yang dimulai bertahun - tahun lamnya.
“Eh.. tau ngga.. tadi aku kesini ngapain??” tanyaku di sela – sela pembicaraan.
“Kamu ngikutin aku kan??” katanya sambil senyum – senyum.
“Eh.. kok tau..??”
“Hey.. aku juga sering perhatiin kamu kaleeee..”
“Yaelah.. ternyataaaaa…  pengintai juga..?? tapi sebenernya, aku punya sesuatu untu aku kasih ke kamu..” kataku sambil mengambil kotak merah dengan pita putih yang ada di dalam tasku.
“Waahhh… Indonesia banget..! warna merah.. warna kesukaan ku.. !! aku buka sekarang boleh?? “
Aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum.
“Yaampunn.. bagus banget Rin.. warnanya merah lagi..” .
Adit terdiam sejenak ketika ia melihat fotonya kala ia sedang bermain gitar bersama anak – anak dibawah pohon, dekat lapangan.
“aku jatuh cinta pada pandangan pertama dit… aku cuma sekedar liat kamu, tanpa aku tau sifat kamu. Tapi semua itu udah cukup buat aku jatuh cinta sama kamu. Sampe ahirnya aku ngikutin kamu dan belajar membatik di tempat kamu kerja itu. Sayangkan kalo tinggal di kota batik, tapi kita sendiri ngga bisa membatik..?? Makasih ya dit.. udah jadi inspirasiku mengenal seni lebih jauh..” kataku sambil tersenyum dan menatap matanya dengan penuh perasaan.
“Harusnya aku yang berterimakasih karna bisa ketemu bidadari kaya kamu, dan kamu juga udah rela belajar membatik” jawab Adit
“Dit.. aku tau banyak bidadari di sekelilingmu, tapi pangeran yang paling baik yang pernah ada itu cuma kamu. Kamu datang disaat aku sendiri dan kamu mengulurkan tanganmu untuk menuntunku ikut bersamamu.. dan ternyata kamu emang beda kan dari cowo lain?? Cowo jaman sekarang berlomba – lomba untuk mengejar gaya yang modern, tapi kamu?? Cinta budaya. Sederhana..tapi menurutku itu luar biasa..!! “ kataku lagi.
Adit hanya terdiam dan menatapku dengan senyuman manisnya
“Jadi kita impas kan?? aku kan udah buatin sego megono special buat kamu, dan kamu udah buatin aku batik cinta khusus buat aku”
Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Yaa.. setidaknya sekarang aku bisa tau sosok Adit lebih dalam, aku tidak lagi menatapnya melalui sebuah foto, tidak lagi menatapnya diam – diam dibalik pohon, tidak lagi aku mengikutinya diam – diam, karna dia ada di depanku mataku, hadir disetiap hari – hariku, dan bersanding disampingku. Sekarang aku punya waktu. Ya.. waktu untuk melihatnya lebih dekat sebagai penginspirasiku. Aku juga punya lebih banyak waktu. Yaa.. waktu untuk membagi cerita dan senyuman. Hariku mulai terasa berwarna ketika aku menemukan sosok yang selama ini ku cari, mencintai budaya, dan tentunya menemaniku dikala aku sendiri. Aku punya teman tapi bukan sekedar teman, teman yang selalu menghapus air mataku dan teman yang selalu berjalan disampingku untuk selalu menjagaku. Hanya sepintas saja aku melihat wajahnya, Tuhan sudah menakdirkanku untuh jatuh cinta padanya, tapi mungkin inilah jalannya. Setidaknya aku punya orang yang selalu ada untukku selama aku ada di Pekalongan. Yaa.. selama itulah aku belajar lebih dalam lagi tentang dia dan budaya Pekalongan.

0 komentar:

Posting Komentar