Senin, 31 Desember 2012


Seseorang yang belum pernah ku lihat itu ibarat seperti “Angin” . Yaa.. tak pernah terlihat namun aku bisa merasakannya. Dia tak pernah jauh, dia selalu terasa dekat disini.. didalam hati. Walau aku tak pernah menatap matanya, namun aku tau cahaya matanya lebih terang dari cahaya bintang dimalam hari. Bahakan, walau pun aku tak pernah melihat senyumnya, namun aku tau, lengkung senyumnya pasti lebih indah dari lengkung bulan sabit di malam hari.
 Hey “Angin” , dapatkah kau merasakan apa yang sekarang ku rasakan ?? dapatkah kau peka terhadap sebuah perasaan ??
Hey “Angin” , bisakah aku menyentuhmu ?? bisakah aku melihat senyuman mu ?? dan bisakah aku menatap matamu ??
Hey “Angin” , bisakah aku memilikimu setelah aku berusaha membuktikan cintaku ??
Tapi aku takut memberitahumu bahwa aku mencintaimu.. aku takut, setelah kau tau bahwa aku mencintaimu, kau malah membenciku dan pergi dari hidupku. Mungkin tak sepantasnya aku memilikimu, biar saja aku pendam harapan itu jauh di dasar hatiku dan aku cukup dengan diam – diam mengagumimu. Ketika aku merindukanmu, aku hanya bisa memejamkan mataku dan merasakanmu ada disampingku. Yaa.. hanya itu.
Tak banyak kata yang bisa ku sampaikan.. hanya ini..
Walaupun berlembar – lembar kertas kutulis dengan namamu.. apakah kau akan peka ??
Walaupun beribu – ribu kata cinta kurangkai dengan sebait puisi.. apakah kau jg akan peka ?
Sekalipun kau tau.. mungkin kau justru malah membenciku dan hilang dari hidupku.
Aneh memang, hanya sekejab saja aku mengenalmu tanpa pernah melihat bagaimana parasmu. Aku sudah bisa mencintaimu. Aku sama saja mencintai “Angin. Mungkin aku merasakanmu terlalu indah, sampai aku lupa jika kamu tak bisa ku miliki dalam dunia nyata.
Yaa.. hanya ku pendam saja perasaan itu. Lebih baik memendam perasaan itu dari pada memberitaukannya tapi kau malah pergi. Tak apa.. lebih baik aku menahan sakit dari pada harus kehilangan kamu dari hidupku. Cinta itu tidak harus memiliki kan ?? cinta itu cukup melihat org yg kita cinta bahagia. Meski dia bahagia bukan bersama kita.  Itu jauh lebih baik kok.. :)

Ketika aku duduk terpejam merasakan kesendirian ditengah keramaian,
Kau datang mengulurkan tanganmu dan memberiku nafas disetiap sela langkah hari hariku..
Kau datang tanpa ku tau seperti apa wujudmu…
Kau datang tanpa ku tau seperti apa senyummu…
Setidaknya, walau dengan sebuah perkenalan singkat, kau memberiku sebuah kelegaan didalam sebuah kesesakan yang seolah menjerat hari hari yang ku genggam…
Apakah kau akan selamanya menjadi “Angin” dihidupku…?? Yang hanya datang tanpa bisa dilihat, namun bisa dirasakan…
Apakah kau hanya sebuah “Pelangi” yang hanya muncul sesekali di dalam hidupku, dan perlahan pergi menghilang meninggalkanku kembali sendiri…?
Aku hanya berharap kau menjadi “Matahari” yang selalu hadir memberikan cahaya disetiap pagi tanpa pernah hilang sedikitpun dari dunia ini…
Namun yang ku tahu… sekarang kau adalah “Angin”…
Aku yang berdiri menunggumu pun tak pernah tahu kapan “Angin” itu datang…
Kadang ia datang…
Namun terkadang dia menghilang…
Dia tidak pernah bisa dipahami dan mungkin dia juga tak berharap untuk dipahami…
Sekarang… setelah “Angin” itu tahu bahwa aku mengaguminya…
Dia tampak mejauh… dan perlahan – lahan pergi… menghilang dari hidupku…
Dan barulah aku sadar… ternyata “Angin” itu hanya singgah sejenak di kehidupanku, lalu pergi berhembus ke hati yang lain… mencari sebuah ruang hati yang tepat untuk ia singgahi…
Hay “Angin” … aku akan selalu berdoa di setiap aku melipat tanganku di dalam gereja dan berharap semua lalu perjalananmu berhenti di dalam sebuah pelabuhan yang tepat untuk kau singgahi…
Tapi ingatlah aku ketika kamu merasa sendiri…
Karena aku akan tetap disini…
Menunggumu…
Untuk menyapaku kembali… :)

Andai..




“Andai”
Adalah sebuah kata yang mewakili sejuta harapan yang tak mungkin ku dapatkan. Yaa.. harapan yang harusnya ku dapatkan itu berlalu begitu saja bersama angin. Harapan dan keinginan itu terhempas dari bidikanku. Sejuta harapan di tahun 2012 kemarin hanya bisa ku ungkapkan dengan kata “andai” .
“Andai aku memberitahu perasaanku kepadanya lebih dulu..”
“Andai aku bisa memilikinya..”
“Andai aku bisa memiliki banyak teman seperti mereka..”
“Andai…. Andai… dan Andai..”
Terkadang  aku pun lelah hidup dalam dunia mimpi yang di penuhi dengan kata “Andai” , tak ada yang membuatku lebih baik selain berandai dengan imajinasiku sendiri. Kapan aku bisa mengganti kata “Andai” itu menjadi kata “Pasti” ?? . Aku ingin selalu ada kepastian untuk semua yang telah ku lakukan dan ku usahakan dalam setiap langkahku. Tapi kenyataannya aku tak pernah mendapat kepastian meskipun aku sudah berusaha mendapatkan apa yang aku harapkan.
Sebuah harapan yang tak mungkin itu selalu berakhir dengan kata “Andai” . Tapi.. bisakah kata “Andai” itu berubah menjadi kata “Pasti” .
Hey… “Angin”
“Andai kamu tau perasaanku.. apa yang kamu lakukan?? “
Hey “Angin”
“Andai kamu tau aku mencintaimu.. apa yang kamu lakukan??”
Kau hanya terdiam kan’ ? bahkan mungkin kau terheran – heran, dan bertanya “Mengapa kamu bisa mencintai seseuatu yang belum per


Ingatkah kawan saat kita membolos…?? Ingatkah kawan saat kita tertawa ?? Ingatkah kawan saat kita berfose dan berfoto di tengah jalan ?? Ingatkah saat kita membohongi orang tua dan pergi bersama kawanan “punk” ?? Ingatkah saat kau mengejekku dengan sebutan “Nogo Ireng” ?? Ingatkah saat kita makan nasi goreng dikostanku ?? Ingatkah saat kita membolos demi merayakan ulang tahunnya ??  Ingatkah itu kawan ?? Atau lupakah ?? aku rindu semua “guyonan” mu kawan, aku rindu candaanmu.
Namun aku tau, dunia mu sekarang jauh lebih baik tanpaku :) . aku sadar, betapa aku selalu memberimu beban ketika aku menjadi teman sepermainanmu. Sadar atau tidak, aku masih selalu memperhatikanmu… sekarang kau jadi lebih dewasa kawan… bisa lebih feminim… :)
Aku sempat menangis di malam natal kemarin. Tahun lalu kau memberiku ucapan “Selamat Natal” , namun sekarang, kau seakan lupa jika aku sedang berbahagia kala itu. Bahagiaku tak pernah bisa sempurna tanpa ada yang ikut merasakan kebahagianku. Apa kau seutuhnya benar – benar melupakanku ?? apa kau seutuhnya benar – benar menjauhiku ?? apa kau seutuhnya benar – benar tak lagi memperdulikan ku ?? tak bisakah kau sedikit menanyakan kabarku ??. Mungkin aku sadar aku sudah terlalu menjadi beban untukmu kawan, tapi apa karna itu juga kau benar – benar seakan tak mengenalku lagi…??
Aku menulis ini sambil mengingat semua kenangan dan candamu, air mata tak bisa lagi bisa ku bending dan mengalir dengan sendirinya dari pelupuk mata ini.
Ngga kerasa ya?? Tiga bulan lagi kita akan menempuh jalan kita masing – masing :)
Kita berpencar, mencari setitik kebahagian dan mendalami bagaimana kerasnya kehidupan… aku akan selalu berdoa disetiap aku melipat tanganku… aku akan selalu berdoa untukmu kawan.. aku yakin kehidupanmu akan jauh lebih indah.. :)
Percayalah kawan… walau keluargamu tak lagi utuh… tapi setidaknya… ada banyak orang disekitarmu yang menyayangi dan mencintaimu dengan utuh…
Kau lebih beruntung kawan… memiliki banyak teman dan kasih sayang… berbeda denganku yang hanya bisa membagi cerita ku sendiri. Tak ada lagi kawan dan sahabat di sekitarku… dan aku juga sadar… mungkin itu karna sifat dan kesalahanku…
Syukuri apa yang telah kau miliki sekarang… termasuk seorang Ibu.. dan Tante yang begitu menyayangimu…
Sukses untukmu kawan… :) . MAAF…

Angin…



Dapatkah kau menghembuskan bau seperti bau bunga mawar yang dibasahi embun di pagi hari…?
Dapatkan kau menghembuskan semilir angin yang sejuk, yang mengelitik rambutku hingga bergoyang dan tergerai kebelakang..?
Angin yang rasakan saat ini begitu lembut… Angin yang datang dan memberiku ketenangan ketika ia menyapaku…
Seseorang yang belum pernah ku temui…
Mungkinkah kau seperti angin itu…??
Datang dan pergi kapan pun semau mu… tanpa tau perasaan itu..??
Kau yang belum pernah ku temui…
Peka kah hatimu terhadap sebuah perasaan…?? Mengerti kah kau terhadap sebuah kekaguman…??
Begitu banyak pertanyaan mengalir disetiap aku mengingat nama itu…
Mengapa aku bisa mengagumi mu delam waktu sesingkat itu…?
Dan bagaimana aku bisa memberi tahu mu tentang perasaan itu…??
Aneh memang… tapi aku wanita… hanya bisa menyimpan rasa itu dan membiarkannya berlalu bersama sang waktu…
Aku hanya bisa memberi tahunya dengan caraku sendiri…
Yaa.. sesuatu yang tersirat dan tersurat…
Mungkin semua yang aku rasakan tidak pernah ku katakana langsung dari mulutku… namun akan ku pastikan… semua itu tersurat melalui sebuah tulisan…”
Dan aku berharap kau mengerti arti dibalik itu… :)
Terimakasih “Angin” :)

With Love “Kagome




Iri banget rasanya melihat mereka tertawa, dan bercanda bersama dengan teman – teman dan sahabat – sahabatnya. Kadang aku bertanya, kemana sahabat ku ?? aku merasa aku punya sahabat, tapi dimana dia ?? dia yang dulu ku sebut “sahabat” tak pernah lagi hadir di sela – sela kehidupanku. Ada apa ?? katanya sahabat selalu ada disaat suka dan duka ?? tapi dimana mereka ketika aku membutuhkannya ?? dimana mereka disaat aku berada di moment bahagia??. Kenapa ? kenapa mereka seolah begitu bahagia ketika melihatku berjalan sendirian tanpa ada seorang teman disampingku ??
Kenapa?? Kenapa aku menjadi seseorang yang iri hati ketika aku melihat mereka yang memiliki banyak teman begitu bahagia menikmati liburannya??
Kenapa aku menjadi seseorang iri hati ketika melihat mereka berfoto dengan teman – teman dan sahabat – sahabatnya ?? kenapa !!!
Apa Tuhan memang menakdirkanku untuk selalu sendiri ?? dengan sifatku yang seperti ini, mungkin Tuhan memang mentakdirkanku untuk menjadi seorang yang pendiri. Hanya bisa bicara di dalam hati, dan melakukan semua di dalam mimpi dan imajinasi.
Berkawan dengan sepi. Mungkin itulah aku. Menangis sendiri, tersenyum sendiri, bercerita sendiri, tanpa ada teman untuk berbagi. Aku hanya bisa menutup telingaku ketika mereka menceritakkan semua keasyikannya bersama teman – teman dan sahabat – sahabatnya di tempat yang sepertinya terlalu indah untuk dibayangkan.
Rasanya aku ingin berteriak sambil menangis. Meratapi kesendirian yang tak pernah berhenti dan berlalu dari hidupku. Tuhan.. kenapa aku masih saja merasakan kesendirian itu ?? kirimkan aku teman.. kirimkan aku sahabat. Sahabat yang bukan hanya untuk saat ini, tapi untuk selamanya. Yang mau memaklumi kekuranganku dan yang selalu ada bahkan sampai aku tua dan mati nanti. Sahabat sehidup semati. Di duniawi dan di aherat nanti. Aku ingin merasakan indahnya persahabatan, yang selalu bisa menjadi teman dikala aku berduka maupun bahagia.
Tuhan.. sampaikan kepada “Angin” bahwa aku mengaguminya.
Aku tak berharap bisa memilikinya, karna aku tau, aku tidaklah pantas untuknya.
Tuhan.. aku masih menjadi seseorang yang penyendiri dan memendam rasa iri. Kuatkan aku, hilangkan perasaan itu dan kirimkan aku sahabat.. :(

Diary…




Diary…
Tahu kah kamu rasanya menjadi seorang yang penyendiri..?? setiap harinya tak ada sms di hand phone ku, tak ada mention di twitter ku, tak ada pemberitahuan di facebookku, dan tak ada satu pun teman yang membutuhkanku. Sakit rasanya menjalani kehidupan yang seolah – olah aku ini tak pernah berarti bagi siapa pun. Aku tak pernah dibutuhkan dan diperlukan. Berjalan sendiri, merasakan sedih sendiri, dan tak ada satu pun teman yang bisa di ajak berbagi.
Diary…
Apa “Angin” yang kuharapkan itu juga bisa peka terhadap arti sebuah perasaan ??. Apa dia tau rasanya sendiri ? Sendiri itu seakan menjeratku di dalam kejenuhan, dan itu begitu menyiksaku disetiap aku merasa sendiri. Hey “Angin” , sebenarnya aku membutuhkanmu, tapi mengapa kau tak lagi hadir menyapa hari – hariku seperti dulu ?? :(
Diary…
Aku bisa – bisa gila karna terbunuh sepi yang menjeratku setiap hari. Setiap jamku seperti ku lalui di dalam sebuah ruangan kosong, tanpa suara, tanpa ada siapa pun, tanpa ada apapun, dan aku hanya berbaring di ruang kosong itu sambil menunggu detik yang berputar berganti menjadi jam.
Diary…
Siapa yang bisa membebaskan aku dari kesendirian ini..??
Siapa??
Dapatkah aku terbebas ??
Dapatkah aku terlepas??



Dia itu mahkluk Tuhan yang lebih setia dari manusia. Bahkan sahabatku pun ngga ada yang sesetia dia (Kecuali yesikha Herminia may shita :) ) . Tapi sayang dia udah ngga ada :( . Jadi kesepian deh sekarang, biasanya kalo denger suara gitar, dia langsung dateng sambil mengibas – ngibaskan ekornya terus tidur disampingku, seolah dia seneng gitu kalo aku genjreng – genjrengan walau dengan suaraku fals dan genjrengan gitar yang ngga pernah pas sama lagunya. Kalo mau berangkat sekolah, dia selalu nemenin aku nunggu angkot di depan, kalo pulang sekolah juga, dia udah stand by di depan pintu. Terus kalo denger aku pulang, dia langsung nyambut aku gitu.. seakan aku tuan rumah yang bener – bener dia hormati :( . kalo mau minta makan, dia pinter banget masang tampang melas. Ckckck.. kasian si “Moshi” , matinya ngenes banget. Sekarang udah ngga ada lagi yang aku gangguin, biasanya kalo dia lagi tidur siang, aku suka gangguin dia :( sampe dia marah terus pindah tidur di teras rumah tetangga depan.
Matinya ketabrak mobil, dan parahnya lagi, aku belum sempet nguburin dia, baru aja gali lubang kuburnya,  ehh.. pas mau diambil di pinggir jalan raya udah ngga ada. Mungkin dibuang orang :(.
Semoga kamu jadi anjing yang baik ya di surge sana :)



Sudah 2013. Tak terasa begitu cepat waktu ini berputar. Yang kemarin adalah masa lalu, dan yang di depan kita adalah masa depan. Boleh sesekali kita menengok kebelakang dan melihat pahit manisnya masa lalu itu. Sejenak, aku menengok kembali ke pintu 2012 dan aku tersenyum ketika aku mengingatnya. Aku jadi rindu akan panggilan “Sayang” ., Setidaknya setengah perjalananku ditahun 2012 pernah ku lalui bersamanya. Walau Cuma setengah tahun, tapi itu recor loh, baru kali itu aku pacaran sampe 6 bulan. Biasanya sih Cuma 1 atau 2 bualan aja.
Begitu indah memang untuk dikenang. 6 bulan jomblo,jadi rindu dengan kata – kata “sayang” itu. Kapan ya, ada yang manggil aku dengan sebutan “sayang” lagi :(
Yang berteman sama aku aja ngga ada, apalagi yang mau pacaran. Hhaha.. terlalu berharap deh. Banyak orang bilang aku ini aneh, makanya mereka pada takut mau deketin aku.
Entahlah..

Kamis, 27 Desember 2012



Aku merasa beruntung bisa kuliah sekaligus ngekost di Pekalongan, karna kota ini menyimpan berbagai budaya dan masyarakatnya pun masih menjaga dengan baik budaya – budaya itu secara natural. Tidak hanya terkenal dengan budayanya yang tingi, namun budaya kuliner tradisionalnya pun senantiasa hadir ditengah modernisasi makanan yang menjamur dikalangan masyarakat. Seperti sego megono misalnya. Warung Pak Tarno yang terletak di ujung gang kostan begitu ramai setiap hari karna sego megononya yang selalu laris di serbu masyarakat sekirar perumahanku. Aku termasuk salah satu pelanggan setia pak Tarno yang setiap pagi selalu membeli sego megono sebagai sarapan setiap pagi. Nasi dan sayur megononya benar benar gurih, apalagi jika dihidangkan ketika panas. Sayur megononya berasal dari nangka muda yang di cincang halus kemudian di beri bumbu khas urap yang pedas dengan balutan bumbu kelapa yang gurih. Waw banget !
“Pak.. kenapa ga cari pekerja buat bantuin disini sih..?? apa ngga repot kalo kerja sendiri gitu ? “ tanyaku yang tengah duduk di kursi panjang yang ada di warung pak Tarno sembari menunggu pesanan sego megono yang dari tadi tidak kunjung selesai diracik.
Pak Tarno sudah biasa melayani pembeli sendirian. Hebat ya. Aku aja ribet litany, tapi beliau bisa ‘ngeladenin sebegitu banyaknya pembeli. Pagi dan siang, semuanya, setiap hari di lakukannya sendiri.
“Pak.. kalo natalan maen kerumah ku yaa… !! deket kok, di kecamatan Wonokerto sana. ” kataku lagi. Beliau hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya sembari mencuci piring bekas pembeli yang baru saja singgah ke warung sederhana ini.
“Jangan iya iya aja loh.. nanti kalo kalo pas aku pulang ke rumah, pasti pak Tarno kesepian..” kataku nyerocos tiada henti.
“Iya.. iya nduk.. tenang aja to.. saya juga sudah pernah kerumah to?? Pasti nanti mampir “ jawab beliau dengan logat jawa yang masih begitu melekat ketika ia berbicara menggunakan bahasa indonesia. Sebagai anak kost, aku punya kekurangan, salah satunya ngga bisa masak. Seharusnya, seorang anak kost itu harus pinter – pinter masak dan yang paling utama adalah HEMAT DUIT.  Karna kebanyakan anak kost mengalami situasi kritis di ahir bulan ckckck.
Dikostan, aku tinggal satu kamar dengan temanku yang gaya hidupnya agak agak kebarat – baratan gitu, jadi ngomongnya juga agak ngga sejalan. Dia doyan banget pergi ke mall dengan sepatu high hill, rok pendek dan baju yang menurutku mungkin penjahitnya kehabisan bahan, jadi setengah jadi gitu deh. Aku sendiri bukan tipe wanita glamour, yang hobi shopping atau hang out ke bar atau tempat – tempat malam lainnya seperti kebanyakan teman teman sebayaku. Dari pada shopping – shopping ngga jelas, mending aku tidur kostan sambil nulis nulis novel di bloggerku, atau traveling, mencari – cari tempat yang natural dan bisa dijadikan tempat untuk merefresh seluruh penat di otakku. Seperti kawasan pegunungan Petungkriyono yang terletak di lereng gunung Ragajambangan, ngga jauh dari Kajen, ibu kota kabupaten Pekalonagan.
Hari ini Dhera teman sekamarku hang out entah kemana, jadi aku terpaksa tinggal dikamar sendirian.
“Rin..?? lo beneran ngga ikut gw ??” tanya Dhera ketika ia sibuk menebalkan alis nya dengan pensil alis di depan cermin.
“Ngga ah.. ! kaya ngga tau gue aja lo, gw ngga hobi shopping ! “ kataku dengan nada yang sedikit gak cetus.
‘Ahh.. lo mah doyannya ‘ngebolang ke hutan hutan gitu sihhhh..! udah ah.. gue mau cabuut.. ! Daaaaa…”
Aku hanya melambaikan tangan ku sambil tetap konsen pada laptop yang ada di depan mataku. Biasanya kalo sendirian, kerjaanku cuma nulis novel sambil dengerin lagu – lagu barat yang romantis, biar imanjinasiku bisa dituangkan dan di deskripsikan di dalam semua tulisan – tulisan ini. Sebagai mahasiswa jurusan teknik informatika, mau tidak mau aku harus menghabiskan waktuku di depan komputer setiap harinya. Entah apapun itu, adaaa aja yang di otak atik, dan hal itu membuatku jenuh juga pada ahirnya. Terlebih lagi mataku, seakan dia selalu saja dipaksa bersama otakku, untuk melihat layar monitor yang merusak mataku.
“Ahh… Bosen !! Ngapain gue kalo kaya gini ?? kalo tempat pak Tarno, pasti pak Tarno sibuk. Lagian gue juga udah kenyang banget.. ahh.. kemana aja ga papa lah… yang penting ngga jenuh..! “ kataku dalam hati. Dengan berbekal kamera LSR, hadiah pemberian ayahku ketika aku ulang tahun, tahun kemarin, aku menutup pintu kostanku lalu berjalan berjalan disekitar perumahan. Selain kuliah di jurusan informatika, aku juga hobi mengambil gambar yang bertema sosial dan natural, segala yang indah, yang membuat mata ini terpukau ketika melihat objek itu. Kadang kalau ada kompetisi fotografer, aku sering ikut. Walau tidak mennjadi yang pertama, tapi setidaknya aku sudah berusaha. Di gang sempit ini, banyak sekali anak anak berkeliaran setiap sore, ada yang bermain kelereng dan ada yang saling berkejar kejaran, mereka punya permainan sendiri yang bisa membuat mereka bahagia dengan cara sederhanya. Satu persatu aku membidik anak anak itu dengan kamera ku, dan dengan gayanya yang lucu, mereka berfose dengan gayanya masing – masing. Aku kembali berjalan menikmati sore ini. Senja ini cahayanya terasa hangat, matahari yang berwarna keemasan, memberikan efek cahaya yang pas jika aku membidik objek – objek di sebelah barat. Waktu terbaik untuk landscape, khususnya sebelum sunset. Aku duduk dibawah pohon rindang di dekat lapangan bola, tapi kenapa hari ini lapangan bola ini sepi ?? . Mataku yang dari tadi  melihat ke berbagai arah jalanan pun menemukan sebuah subjek yang cukup membuatku melongo ketika mataku sekelibat cepat menangkap sosoknya di sudut jalan. Tinggi, putih, cool, sambil duduk dibawah pohon bersama anak anak kecil sambil bernyanyi dan dia yang memainkan gitarnya. Aku menatapnya dari kejauhan, kira – kira 20 meter lah jauhnya.
“Omaigatt..!! Dari jauh aja ganteng, apa lagi dari deket” kataku dalam hati tanpa mau memalingkan mataku dari arah sudut jalan situ. Aku menemukan view point yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Jantungku berdebar ketika aku ingin membidiknya dengan kameraku dari kejauhan. Lama mataku menatapnya dengan tatapan berbinar dari balik kameraku. Aku berfikir apakah waktu ini tepat untuk mengambil gambar. Tiba – tiba dia menegok ke arahku dan ketika itu aku menekan tombol shutter release.
“haaah… kena lo !!” . Bidikanku begitu tepat ketika ia mengarahkan pandangannya ke arahku. Aku langsung pergi dari tempat itu, sambil tertawa cekikikan. Pasti pria itu menganggapku setengah aneh, tapi tak apa , asal aku dapet fotonya. Aku berhenti sejenak lalu melihat hasil bidikanku.
“Yaa ampun..!! Cakep, dan kelihatannya dia sayang baget sama anak kecil” kataku dalam hati ketika memandangi foto itu. Dia begitu terlihat sederhana.
“Pasti ini akan jadi kejutan luar biasa buat Dhera, ngga percuma juga kan aku keluar kostan. Apa ini panggilan alam ya??” Pikirku. Besok aku akan ketempat itu lagi, siapa tau dia nongkrong di tempat itu lagi. Sudah 1 tahun ngekost di sini, tapi belum juga ada tambatan hati, siapa tahu Tuhan menakdirkan aku dan dia atas panggilan alam. Mungkin.
Dhera baru pulang ketika adzan magrib, entah apa yang dia kerjakan hingga ia pulang begitu sore. Aku hanya diam saja melihat ia pulang ketika magrib kala itu sambil duduk di ayunan, aku memandangi langit yang masih tampak keunguan itu sambil memandang foto pria itu. “Bodohnya gue.. !! kenapa ngga zoom aja ya??! “ pikir ku setelah lama memandang foto itu. Foto itu seakan mempengaruhi pikiranku dan menggodaku untuk memaksaku bermain di dalamnya atau berimajinasi dengannya. Keinginan yang timbul tanpa sadar.
“Liat dong… liat dong... !! “ kata dhera sambil merebut kamera LSR yang dari tadi ku pandangi tanpa mau beralih.
“Yaaaelahhhh… ngapain ni cowok lo poto – poto ?? Ngga ada yang laen tah ?? “ katanya lagi setelah melihat gambar itu.
“Emang kenapa??”
“Kampungan banget.. liat tu bajuya, pake batik ????? omaigatt.. ngga jaman deh. Cowo kece itu makenya kemeja kalo ngga jas.” Jawabnya dengan nada yang begitu meremehkan. Tapi memang itulah sifat dan karakternya. L-E-B-A-Y !! Seandainya pak Tarno buka warungnya sampe malem, pasti tiap hari aku bakalan mampir deh. Tapi sayangnya, rumah pak Tarno jauh dari warungnya, warung yang diujung gang itu hanyalah warung sederhana milik orang lain yang disewa untuk usaha kulinernya, aku sendiri tidak pernah tau dimana rumahnya. Untung saja sego megononya pak Tarno enak, jadi banyak peminatnya deh.
Sore hari, untuk kedua kalinya aku pergi ke lapangan bola itu.Tapi masih seperti kemarin, lapangan itu sepi. Aku melihat ke ujung – ujung dan sudut – sudut jalan, tapi aku tak menemukan sosoknya. Dimana dia?? . Aku bertanya pada anak – anak yang bermain di sekitar tempat dia bernyanyi kemarin.
“Dek.. mas mas yang ganteng yang kemarin nyanyi sambil gitaran disini sama anak kecil itu tau ngga??” tanyaku kepada anak kecil yang tengah bermain kelereng bersama anak kecil sebayanya.
“Oh.. mas Adit ya mbak??” jawabnya
“Namanya adit yaa??”
“Iya mbak, namanya mas Adit, orangnya baik banget.” Katanya dengan penuh keyakinan, seolah, Adit itu sudah menjadi teman dekat yang melekat di kesehariannya.
“Emmm… tau rumahnya ngga dek..??” tanyaku lagi.
“Ngga tau mbak, tapi aku tau tempat kerjanya dimana..”
“Dimana…??”
“Disana….” Jawabnya sambil menunjuk sebuah rumah sederhana yang di depan halamannya terdapat banyak kain batik yang sedang dijemur.
“Dirumah itu…??” kataku sambil berfikir.
“Iyaaa mbak.. dia kerja disitu.. buat batik..”
“Haa?? Batik?? Cowok buat batik ?? ngga salah??” batinku dalam hati.
Dalam hati aku tak menyangka bahwa pria seganteng dia, ternyata seorang pembuat batik. Itu membuat kekagumanku dan keingintahuanku semakin bertambah tentang dia. Hari gini, jarang banget ada cowok yang mau kerja jadi pembuat batik, itu kan kerjaan yang terlalu cewek banget. Tapi dia mau melakukan pekerjaan itu tanpa ada rasa malu. Salut deh sama tu cowok.  Sebenernya aku pengen banget kesana dan belajar membuat batik seperti dia. Katanya kalau buat batik itu perlu kesabaran, sama dong kaya mencari sebuah objek dalam dunia fotografer. Sebelum membidik, kita harus tepat, dan sebelum tepat, kita harus fokus, prinsipnya fotografiku sama seperti membuat batik itu, dan aku yakin aku pasti bisa. Tapi apa aku harus kesana sekarang ?? aku coba untuk datang ke tempat itu dan mendaftarkan ke tempat itu sebagai pembuat batik.
“Permisi bu.. disini ada yang namanya Adit ngga?? “ tanya ku kepada ibu – ibu yang tengah menjemur batik batik di halaman.
“Oalah.. Adit to?? Iya.. dia sudah lama kerja disini nduk..?? memang ada apa ya??” katanya.
“Sekarang dia ada disini?”
“Oh.. kalo sore dia ndak kerja, soalnya dia harus ikut bapaknya ke sanggar. Sampean pacarnya to ??”
“Haa?? Pacar? Bukan kok buk..” jawabku
“Heleeh.. cewek sini banyak lo yang suka sama dia.. “ katanya sambil menggodaku dengan guyonnan nya.
“Kalo saya kerja disini boleh buk..??”
“Ooo.. boleh.. kebetulan kemaren ada yang udah keluar, katanya dia ngga mau kerja lagi”
“Tapi, saya maunya beda waktu sama si Adit, kalo adit kerja pagi, saya kerja malem. Soalnya saja juga kuliah buk.. dan jangan bilang Adit kalo ada pekerja baru disni” kataku sambil mencatat nomor hapeku.
“nih buk.. nanti hubungin saya ya buk mulai kapan saya bisa kerja”
“Okee nduk.. beresss” kata ibu paruh baya sambil mengacungkan kedua jempolnya dengan mata berkedip.
Aku sengaja tidak mengambil waktu bersamaan dengannya, agar dia tidak tau  jika selama ini aku mengikutinya, termasuk menjadi pembuat batik. Aku rela melepas waktu travellingku tiap mingu demi cowok yang aku sukai dalam satu kejab pandangan mata pertama. Ternyata cinta itu hebat ya, bisa tumbuh sekejab dalam pandanagn pertama. Apa ini yang namanya pandangan pertama ??
Ketika aku pulang Dhera, yang kebarat baratan itu langsung shock dan kaget setelah mendengar kalau aku akan bekerja paruh waktu menjadi pembuat batik.
“Pagi sampe siang lo kuliah, malemnya, lo kerja. Jadi tukang batik pula !! Yang ada ngedrop tuh badan lo ! “kata Dhera yang berusaha membujukku untuk berfikir ulang.
“Enggak der !! tenang aja !! semua bakal gue lakuin demi C-I-N-T-A “
“Makan tuh cinta !! Jatuh cinta sama tukang batik. Ih.. gue mah ngga level, gue maunya sama cowo yang punya mobil ! “ jawab Dhera dengan gaya songongnya.
Aku hanya terdiam dan bersikap acuh terhadap semua kata kata songong yang Dhera lontarkan setiap aku sedang memandang foto pria yang namanya Adit itu. Ingin rasanya melihat wajah Adit itu dari dekat, sukur – Sukur kalo bisa kenal lebih jauh dan ahirnyaa pacaran deh. Ibu paruh baya itu menelponku dan beliau menyampaikan kalau besok, aku sudah bisa langsung bekerja ditempat itu, jadi aku harus menyiapkan diri untuk memulai dunia baru, sebagai seniman di dunia batik. Dunia yang sudah lama ingin ku geluti sejak dulu. Malam ini, ingin rasanya bulan ini segera berganti menjadi matahari, aku ingin segalanya cepat berlalu dan aku ingin melewati senjaku ditempat itu dan berharap aku bisa melewati senjaku dengan melihat wajahnya walau hanya sedetik. Sebenarnya aku juga bingung, kenapa aku begitu cepat jatuh cinta baru saja aku lihat dan sama sekali tidak aku kenal. Kenapa hanya dengan melihat pada pandangan pertama, semua duniaku seakan berubah ?? sepertinya aku di landa jatuh cinta pada pandangan pertama. Bahkan setiap aku melihat bulan sabit itu, aku seakan membayangkan lengkungan bulan itu adalah lengkung senyumnya. Yaa ampun.. dunia seakan dipenuhi wajah Adit.
            Setelah pulang kuliah, aku langsung ganti baju, lalu pergi kerumah pembuatan batik itu dengan baju yang apa adanya. Oke.. aku siap…. Aku siap… !!. Di jalan, tanpa sengaja aku menabrak seorang pria yang tengah berlari terburu – buru.
“Eh.. Adit..” kataku dalam hati ketika aku melihat wajahnya yang tampak bingung. Dia berdiri lalu menatapku. “Maaf ya..” katanya sambil menundukkan kepalanya sebagai tanda maaf, lalu ia pergi lagi.
“Eh.. Adit.. “ teriakku. Dia menoleh lalu mengerutkan keningnya.
“Kok tau nama saya..??”
“Haah.. em.. aku mau juga buru buru..” kataku sambil ngeluyur pergi. Aku bingung aku harus jawab apa, kalau aku menceritakan semuanya, pasti dia tau kalau selama ini aku selalu memperhatikannya dari jauh.
Aku berusaha untuk menghindar darinya, lalu pergi ketempat pembuatan batik itu. Bu Minem yang sudah siap mengajarkanku membatik telah menyiapkan semua peralatan membatikku dari canting sebagai alat pembentuk motif, kain mori, gawangan atau tempat menyampirkan kain, lilin, pewarna dan kompor kecil untuk memanaskan. Tidak mudah ternyata, semua butuh ekstra kesabaran dan hati – hati, apalagi ketika melukis motif dengan canting yang berisi lilin cair mengikuti pola yang telah disesuaikan, ini perlu ketelitian, dan kesabaran dan cukup membuatku sedikit kelelahan karna kain yang lukis begitu panjang dan lebar. Tahap selanjutnya menutupi bagian yang akan tetap berwarna, tujuannya adalah supaya saat pencelupan bahan kedalam larutan pewarna, bagian yang diberi lapisan lilin tidak terkena, lalu proses pewarnaan. Semuanya aku pelajari dari tahap pertama hingga tahap nglorot dimana kain yang telah berubah warna direbus dengan air panas, tujuannya untuk menghilangkan lapisan lilin, sehingga motif yang telah digambar sebelumnya terlihat jelas pada kain. Setiap hari, selama 1 bulan tanpa ada waktu yang terbuang sedikit pun, aku berusaha untuk mempelajari batik seperti yang telah di pelajari Adit jauh sebelum aku.
“Buk.. saya boleh ngga, buat motif sendiri ?? satu ajaaaa..” kataku kepada bu Minem.
“Yowes.. boleh..”
Aku yang sudah lama belajar membatik pun harus bisa mengasah kemampuanku tanpa tuntunan dari bu Sumi. Aku punya motif tersendiri untuk ku jadikan kemeja batik yang nantinya akan ku berikan kepada Adit sebagai hadiah. Yaa.. sebagai tanda kerja keras ku belajar membatik. Motif yang akan ku gambar adalah motif jlamprang, yaitu motif asli batik Pekalongan dengan motif semacam nitik yang tergolong motif batik geometris dengan perpaduan warna merah dan kuning keemasan. Mengerjakan tahap demi tahap tak membutuhkan waktu lama, jika pekerja bisa gesit dan cekatan, maka bisa lebih cepat.
“Nah.. sekarang tinggal nunggu kering..” kataku dengan nafas yang begitu lega setelah sekian lama membuat batik cinta itu untuk Adit, orang yang baru saja ku kenal. Setelah kain batiknya kering, aku menyempatkan waktuku untuk ke tukang jahit dan merancang desain kemeja batik yang telah aku rancang dari jauh hari.
“Pokoknya, seminggu harus udah jadi ya mas.. penting nih.. ! dan satu lagi, jangan sampe kain batiknya rusak” kataku sambil memberikan kain yang sudah susah payah ku batik dengan model dan motif asli batik Pekalongan.
Aku merencanakan sebuah hal besar yang nantinya ngga akan ia duga – duga. Foto Adit yang telah ku cuci itu akan ku bungkus di dalam sebuah kotak bersamaan dengan batik itu. Semoga saja misiku lancar.
Ketika aku pulang dari konveksi, aku berjalan melewati warung pak Tarno yang baru akan tutup, biasanya pak Tarno memang tutup sebelum adzan magrip, tapi kali ini pak Tarno tutup agak malam.
“Pak ?? Tumben agak malem ?? rame ya..??”
“Iya nduk.. anak saya tadi ikut bantuin..” jawabnya dengan wajah yang sumringah.
“Loh.. punya anak juga toh pak ..? kok ngga dikenalin sama saya??”
“Di amah orang nya sibuk nduk.. dia orangnya ngga mau nganggur”
Aku hanya mengangkat alis dan tak sebegitu menghiraukan dengan sosok si anak yang diceritakan pak Tarno tersebut, sepertinya anak itu anak yang berbakti pada orang tua.
“Oh.. gitu ya pak.. hehe.. yaudah pak, saya pulang dulu deh..”
“O.. njeh nduk..”
Malam itu, malam yang mendebarkan bagiku, aku berfikir, apakah aku siap melihat wajahnya dari dekat?? Tapi aku sadar, ternyata cinta itu bisa datang kapan saja, dan bagaimana pun kondisinya. Aku korban cinta pandangan pertama, dengan modal hanya melihat wajahnya dari jauh saja, aku sudah bisa menaruh rasa cinta itu padanya. Tapi ada juga yang bisa saling jatuh cinta tanpa pernah melihat wajahnya, hanya bermodalkan smsan saja. Itulah hebatnya cinta.
Seminggu kemudian, seperti yang telah ku pesankan pada tukang jahit, kemeja itu harus sudah jadi. Dan untunglah tukang jahit itu mau menyelesaikan pesananku tepat pada waktu yang telah di janjikan kala itu, walau dengan bayaran mahal, aku menyanggupi asal batik cinta buat Adit bisa jadi tepat pada waktunya.
“Selesai….!! “ . Aku meletakkan kotak yang dibalut kertas dengan warna merah yang dihiasi pita berwarna silver itu di atas meja belajarku. Aku berencana menunggunya pulang ketika sore nanti lalu memberikan hadiah ini untuknya.
Sore harinya, seperti yang telah tertata pada otakku, aku duduk di dekat lapangan itu sambil mengamati jalanan disekitarku. Mataku mengawasi tempat pembuatan batik itu dan berharap Adit pulang lewat jalan sini. Seperti yang telah di duga, ini adalah jamnya untuk pulang, dan aku sengaja menunggu di dekat lapangan ini karena aku tau ini adalah jalan pulangnya.
“Loh.. kenapa dia ngga lewat jalan sana?? Mau kemana dia??” kataku dalam hati ketika melihat Adit berjalan melewati jalan yang berbeda. Aku yang dibuat bingung oleh si pria misterius itu pun mengikuti langkahnya sedikit demi sedikit. Dia yang berjalan dengan santainya pun terkadang berhenti dan menengok ke belakang, untungnya aku memakai jaket untuk misi penyamaranku kali ini.
“hah.. Sanggar..??” . Adit berhenti pada sebuah sanggar dimana disitu banyak alat alat musik tradisional seperti gamelean. Aku yang setengah kaget pun hanya bisa berdiri di depan pintu sanggar sambil melihat Adit yang sedang menyapa seluruh pemain gamelan disana.
“Ndukk….??”
“Pak Tarno..??” kataku dengan ekspresi wajah yang kaget.
“kamu ngapain maen sampe sini?? Apa temen mu juga disini??” kata pak tarno yang hendak masuk ke sanggar tersebut.
“Enggg.. iya pak.. temen saya disini..”
“Ooo.. yaudah.. kebetulan.. ayo masuk..”
“Emm.. tapi pak.. saya.. emm.. itu pak.. anu..”
“opo…? Kamu malu kan?? Wes.. ayo masuk..”
Aku yang gugup pun tak bisa menolak ajakan pak Tarno untuk masuk ke sanggar yang di penuhi para seniman tradisional itu, ada yang menabuh gendang, memainkan gamelan, ada penari sintren dan ada pula yang sedang berlatih teater drama tradisional. Semua seni serta kebudayaan khas Pekalongan tercium disini, suasananya, musiknya, semuanya memiliki nilai budaya yang selama ini masih belum banyak ku ketahui.
“Mau makan sego megono nggak kamu nduk?? “tanya pak Tarno yang tengah duduk disampingku sambil melihat penari sintren yang sedang berlatih kala itu.
“Yaa mau lah pak.. hehe, aku mah nggak nolak..”
“Yo.. sabar.. itu lagi di buatin.. kalo saya pulang, anak saya selalu buatin saya sego megono”
“Ini sanggarnya pak Tarno ya..??” tanyaku yang mulai penasaran.
“Bukan.. ini sanggar anak saya..”
“Anak pak Tarno juga latihan disini??”
“Yo iyo.. anak saya mana bisa kalo disuruh nganggur” . Sambil terus mencari Adit yang hilang entah kemana, mataku melihat ke sudut ruangan dan arsitektur sanggar tersebut.
“Ini pak..”
“Astagaa.. Adit” kataku dalam hati ketika melihat ia mengantarkan sepiring sego megono dan meletakannya di meja.
“Nah ini anak saya.. ayo nduk.. dimakan dulu.. saya mau kebelakang sebentar” kata pak Tarno.
“Le.. ini Rinda.. langganan bapak yang sering tak ceritakan ke kamu itu lo.. tolong ditemenin dulu ya..” kata pak Tarno lagi kepada Adit.
Nafasku beku dan jantungku berdetak kencang, hari ini harusnya aku yang memberi surprise kepada Adit, tapi justru beda ceritanya. Adit hanya tersenyum sambil mencuri – curi pandang ketika mataku beralih ketempat lain.
“Dimakan loh, mumpung masih anget.. ini kesukaan kamu kan, Rin??” kata Adit dengan penuh keramahan.
“Eh,, iya iya..”
“Aku udah buat special loh buat kamu” katanya
Sedikit – sedikit aku mulai bisa mengendalikan perasaan kaku yang sejak tadi menghambat mulutku untuk bicara, ternyata dia jauh berbeda dengan apa yang ku bayangkan, dia ramah, dan humoris. Tadinya aku pikir dia agak pendiam seperti pak Tarno, ternyata dia orang yang ramah dan tipe orang pekerja keras. Aku mulai luwes berbicara tanpa ada rasa takut sedikitpun. Pertemuan yang baru beberapa menit itu seolah seperti perkenalan yang dimulai bertahun - tahun lamnya.
“Eh.. tau ngga.. tadi aku kesini ngapain??” tanyaku di sela – sela pembicaraan.
“Kamu ngikutin aku kan??” katanya sambil senyum – senyum.
“Eh.. kok tau..??”
“Hey.. aku juga sering perhatiin kamu kaleeee..”
“Yaelah.. ternyataaaaa…  pengintai juga..?? tapi sebenernya, aku punya sesuatu untu aku kasih ke kamu..” kataku sambil mengambil kotak merah dengan pita putih yang ada di dalam tasku.
“Waahhh… Indonesia banget..! warna merah.. warna kesukaan ku.. !! aku buka sekarang boleh?? “
Aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum.
“Yaampunn.. bagus banget Rin.. warnanya merah lagi..” .
Adit terdiam sejenak ketika ia melihat fotonya kala ia sedang bermain gitar bersama anak – anak dibawah pohon, dekat lapangan.
“aku jatuh cinta pada pandangan pertama dit… aku cuma sekedar liat kamu, tanpa aku tau sifat kamu. Tapi semua itu udah cukup buat aku jatuh cinta sama kamu. Sampe ahirnya aku ngikutin kamu dan belajar membatik di tempat kamu kerja itu. Sayangkan kalo tinggal di kota batik, tapi kita sendiri ngga bisa membatik..?? Makasih ya dit.. udah jadi inspirasiku mengenal seni lebih jauh..” kataku sambil tersenyum dan menatap matanya dengan penuh perasaan.
“Harusnya aku yang berterimakasih karna bisa ketemu bidadari kaya kamu, dan kamu juga udah rela belajar membatik” jawab Adit
“Dit.. aku tau banyak bidadari di sekelilingmu, tapi pangeran yang paling baik yang pernah ada itu cuma kamu. Kamu datang disaat aku sendiri dan kamu mengulurkan tanganmu untuk menuntunku ikut bersamamu.. dan ternyata kamu emang beda kan dari cowo lain?? Cowo jaman sekarang berlomba – lomba untuk mengejar gaya yang modern, tapi kamu?? Cinta budaya. Sederhana..tapi menurutku itu luar biasa..!! “ kataku lagi.
Adit hanya terdiam dan menatapku dengan senyuman manisnya
“Jadi kita impas kan?? aku kan udah buatin sego megono special buat kamu, dan kamu udah buatin aku batik cinta khusus buat aku”
Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Yaa.. setidaknya sekarang aku bisa tau sosok Adit lebih dalam, aku tidak lagi menatapnya melalui sebuah foto, tidak lagi menatapnya diam – diam dibalik pohon, tidak lagi aku mengikutinya diam – diam, karna dia ada di depanku mataku, hadir disetiap hari – hariku, dan bersanding disampingku. Sekarang aku punya waktu. Ya.. waktu untuk melihatnya lebih dekat sebagai penginspirasiku. Aku juga punya lebih banyak waktu. Yaa.. waktu untuk membagi cerita dan senyuman. Hariku mulai terasa berwarna ketika aku menemukan sosok yang selama ini ku cari, mencintai budaya, dan tentunya menemaniku dikala aku sendiri. Aku punya teman tapi bukan sekedar teman, teman yang selalu menghapus air mataku dan teman yang selalu berjalan disampingku untuk selalu menjagaku. Hanya sepintas saja aku melihat wajahnya, Tuhan sudah menakdirkanku untuh jatuh cinta padanya, tapi mungkin inilah jalannya. Setidaknya aku punya orang yang selalu ada untukku selama aku ada di Pekalongan. Yaa.. selama itulah aku belajar lebih dalam lagi tentang dia dan budaya Pekalongan.



Bagiku tidak ada yang indah kecuali melihat jutaan bintang yang bertaburan di hamparan awan malam yang hitam, dan semua itu akan terlihat lebih indah bila bulan purnama menyinari malam seperti layaknya matahari menyinari siang hari. Ku ambil gitar ku, dan duduk di kursi teras depan rumah dengan secangkir kopi hangat buatan ibu, anjingku molly yang setia, juga ikut duduk dikursi samping tempatku duduk sambil mengibas ngibaskan ekornya dan menatapku, seolah olah dia tau apa yang ku pikirkan dan kurasakan saat ini. Aku mulai memainkan jemariku, memetik setiap senar gitar dan memainkan melodi dari nada ke nada. Mungkin cuma ini keseharian yang bisa ku lakukan, aku hanya bisa menunggu datangnya kelulusan dan bersiap untuk pergi meninggalkan kota Lampung yang tercinta ini. Setiap sudut jalan, setiap gang, setiap perempatan, setiap pertigaan, setiap rumah, setiap tempat disini, memiliki kenangan dan cerita tersendiri untukku, entah itu ketika aku sedih atau senang, pahit atau manis, suka atau duka  ini lah kotaku, kota yang menyimpan berbagai cerita dari aku lahir hingga saat ini aku berumur 17 tahun. Berbagai cerita telah terukir disini, di kota ini, terlebih lagi cerita tentang cinta. Ya… C-I-N-T-A . Setiap orang pasti memiliki cerita cinta di kotanya masing masing, termasuk aku. Rekaman cerita cinta itu seakan akan kembali berputar ketika aku melewati tempat tempat yang dulu nya pernah menjadi tempatku mengukir sebuah kenangan indah bersama orang yang aku cintai. Namun itu hanyalah kenangan,yang tak harus dilupakan, cukup dikenang sebagai cerita indah yang setidaknya pernah ku lalui dan kurasakan dikehidupan ini. Malam ini mendung, dinginnya angin malam cukup membelai lembut seluruh kulitku hingga aku merasa dingin dan merinding. Sesekali aku menyeruput kopi hangat ku lalu kembali memainkan jemariku dengan gitar itu. Angin malam ini membuat ranting ranting pohon saling bergesekan, menimbulkan suara gusruh hingga aku pun dapat merasakan suara dedaunan itu tampak seolah menari nari bersama desah angin yang berhembus malam itu. Aku masuk kemarku lalu merebahkan seluruh badanku di atas kasur kamarku sambil menatap langit langit kamar dengan pandangan kosong. Bulan ini bulan Desember, 7 hari lagi sudah hari Natal dan aku belum memasang pohon evergreen beserta lampu lampunya. Biasanya setiap bulan Desember ayahku selalu mengajakku untuk menghias pohon natal dan menancapkan hiasan bintang yang berwarna emas di ujung pohon evergreen, tapi untuk sekarang, aku menghias pohon natal itu tanpa ayahku. Hanya ada sebuah kartu ucapan Natal berwarana merah, dengan gambar Santa Claus sedang memberikan kado kepada seorang anak perempuan dan didalamnya bertuliskan :
Selamat Natal, Merry Christmas anakku, maaf ayah tidak merayakan Natal tahun ini bersama anak anak ayah. Tapi ayah yakin, anak perempuan ayah yang satu ini pasti bisa berfikir dewasa. Jadikan natalmu tahun ini lebih bermakana dari pada baju barumu nak..
Ketika aku membacanya, aku tak dapat lagi membendung air mataku yang perlahan mulai menetes dari pelupuk mataku, kartu ucapan itu dikirim 2 hari yang lalu bersamaan dengan sebuah bingkisan berupa boneka Santa Claus dan sebuah kalung perak. Tiap kali aku melihat boneka Santa Claus itu, entah mengapa mataku selalu saja berkaca kaca, dan lagi lagi aku harus menahan air mata. Aku berusaha tak mengingatnya, dan mencoba meraba meraba kasurku dan mencari cari handphoneku yang sejak tadi pagi sama sekali belum ku sentuh sedikitpun, namun mataku terpaku pada sebuah kado yang berbentuk kotak persegi panjang, dibalut dengan kertas tisu warna biru dan dihiasi dengan pita putih keemasan. Aku terpaku menatap benda biru yang tergeletak di atas meja belajarku itu, seolah ada ingatan yang selalu saja muncul dibenakku ketika aku melihat benda biru itu. Itu adalah hadiah terakhirku untuk kak Julius, orang yang kusayangi dan sudah satu bulan ini dia pergi meninggalkanku ke Bandung untuk mengejar mimpi yang telah ia gantungkan tinggi. Aku hanya sekedar mengaguminya saja, tapi entah mengapa seiring dengan berjalannya waktu, rasa kagum itu tak lagi ku rasakan, yang ada hanyalah rasa cemburu ketika aku tau dia begitu dekat dengan teman sekelasku. Bukankah rasa cemburu itu tanda cinta?? Apa rasa kagum itu berubah menjadi cinta?? Entahlah.. yang jelas, aku ingin memberinya kenang – kenangan sembari menatap matanya untuk yang terahir kali, tapi belum sempat aku memberinya hadiah kala itu, dia sudah terlebih dahulu pergi tanpa ada kata kata atau ucapan perpisahan. Tapi aku yakin suatu saat nanti, entah kapan pun itu, dia pasti kembali ke kota ini, dan saat itu lah, aku memberikan hadiah itu. Sampai kapan pun itu, berapa tahun pun itu, aku akan tetap menunggu sampai dia kembali. Itu lah penantian.
Pagi ini aku berangkat sekolah lebih pagi dari hari hari biasanya, karena setiap Senin adalah jadwal piketku, aku pun harus bisa melaksanakan tanggung jawabku sebagai siswa yang baik. Yaa.. berangkat lebih pagi dan menyapu seluruh halaman kelas adalah salah satu contoh pelaksanaan tanggung jawab yang sederhana. Jarak rumah dan sekolahku tidak terlalu jauh, cukup berjalan kaki dengan menghabiskan waktu 15 menit pun aku sudah sampai disekolah. Lebih hemat biaya, tanpa polusi, dan menambah kesehatan tulang dan otot otot tentunya. Setiap pagi aku memang sudah terbiasa berangkat sendirian, berjalan sendiri dan terkadang aku bicara sendiri dengan burung burung yang seakan menyapaku dengan siulannya. Aku berharap aku punya teman disetiap aku berjalan sendirian. Namun orang – orang disekitarku seolah malah menjauhiku. Kata mereka aku ini aneh. Entah sampai kapan aku sendiri disetiap aku berjalan pergi dan kembali. Yang jelas aku juga lelah menyendiri dan sendiri. Pagi ini embun pagi begitu pekat, mungkin karena hujan semalam. Tiap tiap gang kecil diperumahan tempat tinggalku, ditutupi embun yang tebal hingga pengelihatanku pun jadi agak samar. Rumput, dan dedaunan pohon pun terlihat basah dibasahai embun pagi. Ada sebuah jembatan gantung disekitar perumahanku yang menjadi tempatku singgah mengisi semua ceritaku, namanya jembatan Singo rajo, letaknya tak jauh dari rumahku, terletak persis di sebelah barat perempatan gangku. Sebuah jembatan gantung dengan sebuah sungai yang lumayan besar dan gemericik air yang begitu bening dan natural untuk kudengar. Tempat ini jarang sekali terjamah oleh orang orang disekitar sini, karena tempatnya yang jauh dan terpencil. Mungkin hanya aku dan kakek kakek pencari rumput yang sering berkunjung kemari  Aku rasa matahari pagi ini sudah cukup tinggi, tapi embunnya masih saja menghalangi pandanganku. Kota Lampung yang masih tergolong sebagai daerah madya memang berbeda jauh dengan kota Jakarta yang setiap hari macet 24 jam. Jam segini, jalanan Lampung masih sepi, hanya ada angkot angkot yang biasanya mengantarkan anak anak sekolah yang memadati jalanan setiap paginya. Selebihnya, jalanan Lampung disini jarang sekali macet, karena Lampung adalah daerah lintas. Jadi jarang sekali macet. Tidak jauh berbeda dengan Bandung, suasananya masih natural dan sedikit sekali ada gedung gedung tiggi yang berdiri hingga menjulang ke langit seperti di Ibu kota Jakarta. Inilah pengelihatanku setiap pagi. Berjalan sendiri dengan embun pagi dan sedikit suara lalu lintas.
     “Pak Yadi… udah bangun toh? “ tanya ku kepada pak penjaga sekolah separuh baya yang sedang mendorong gerobak sorongnya sambil memungut bekas botol botol minuman yang berceceran di lingkungan sekolah. Pak Yadi hanya tersenyum sambil terus fokus mendorong gerobak sorongnya. Sepertinya aku adalah orang pertama yang datang kesekolah hari ini, benar benar sepi dan hening, hanya ada aku dan pak Yadi, dengan suasana pagi yang masih dibalut sejuknya embun pagi bersama hangatnya sinar matahari. Aku menyempatkan waktu untuk duduk sejenak dan menatap sudut sudut ruangan, dan setiap koridor yang ada di deretan kelas 1 sampai kelas 3. Disana banyak kenangan mereka, teman teman ku, dan aku. Mereka tertawa disana, menagis disana, bercanda disana. Sekolah ku pun mengukir banyak kenangan indah di dalam hidupku. Dan 3 bulan lagi, aku akan meninggalkan sekolah ini dan kota ini. Sungguh indah bila aku kenang semuanya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika nanti aku benar benar pergi dari kota Lampungku ini, pasti aku akan merindukan masa ketika aku dan teman temanku mengikuti ekstrakulikuler menari tarian “Sigeh Penguten” (tarian adat lampung) dengan hiasan mahkota siger seperti yang ada pada lambang kota Lampung yang dipasang atas dikepala serta Sesapur dan kain tapis berwarna keemasan sebagai baju khasnya.
     “Rin..” sesorang menepuk bahuku dari belakang. Aku yang sedang asik mengenang masalalu pun menoleh ke arah datangnya suara.
“Eh, Eka tumben berangkat pagi” Tanyaku
“Kan mau piket” jawabnya sembari duduk disampingku seolah dia ingin ikut terbanag ke putaran masa lalu yang kubayangkan.
Tanpa mengulur waktu, aku langsung menarik tangannya, dan mengajaknya untuk segera menyelesaikan tugas piket hari ini secepatnya, karna setiap senin adalah hari wajib untuk melaksanakan upacara bendera, jadi waktunya akan lebih sedikit untuk kami melaksanakan tugas piket. Segera saja ku arahkan sapuku ke kolong kolong meja dan dibawah bawah kursi di tempat duduk paling pojok, paling kanan, dan paling belakang. Ya, tempat duduk nya Ari alias Sumurung Made Ari Nadeak, si pria batak yang berjabatan sebagai ketua kelas di kelas ku, dan terkenal sebagai siswa yang paling gokil se-antero. Ketika aku sibuk mengobrak abrik seluruh lacinya, aku melihat sebuah kertas berwarana pink dengan bentuk menyerupai bentuk hati. Aku mengambil kertas itu dan membaca tulisan yang ada didalam kertas itu..
     “Ketika kamu tersenyum ketika itulah aku terluka. Terluka karna perjuanganku untuk memiliki senyum itu hanyalah sia sia
Aku membacanya dan terdiam sejenak, berfikir keras tentang makna dari kelimat sederhana yang ia tulis menggunakan tinta merah itu. Dari tulisan itu, tertulis jelas perasaan hatinya, yang walaupun hanya tersurat melalui tulisan sederhana, namun aku tahu benar perasaannya yang hancur karna senyuman itu. Aku mengangguk anguk mengerti, lalu ku remas kertas itu dan kulemparkan bersama sampah sampah yang telah ku sapu. Tanpa kusadari, kertas yang telah kulempar itu jatuh tepat dihadapan Ari ketika ia hendak melangkah masuk ke kelas. Aku yang kaget melihat kedatangannya pun langsung membalikkan badan, dan berpura pura tidak megetahui kejadian yang baru saja ku lakukan. Ia berdiri dengan tegak, mengambil kertas itu lalu perlahan lahan mendekat ke arahku.
 “Jangan pura pura ngga liat deh… lo kan yang ‘ngelempar kertas?? Ngaku aja… lo suka ya sama gue ??” katanya sambil mengunyah permen karet dengan gayanya yang sok ganteng. Aku hanya mengerutkan keningku dan menunjukkan wajah sinisku sambil terus fokus pada pekerjaanku. Walau aku tidak menanggapinya, ia tetap saja berdiri didekatku tanpa mau bergeser sedikitpun. Badannya yang tinggi dan tegap kadang mengganggu pekerjaanku yang harus cepat cepat aku selesaikan sebelum bel berbunyi.
 “Ckckck… ngga mau ngaku kan..?? beraninya lempar lempar kertas doang.. huu.. . “ katanya lagi, namun kali ini dia pergi sambil melemparkan kertas yang telah ku remas remas itu ke arahku. “Tuh.. sapu yang bersih”
“Berisik banget sih lo jadi cowo !!” kataku dengan nada yang setengah tinggi. Kali ini dia hanya memalingkan wajahnya ke arahku dan ia melebarkan senyum pahitnya selebar lebarnya, lalu meluruskan pandangannya. Ternyata dia tak menyadari kertas itu adalah miliknya. Aku mengambil kertas itu dan menyimpannya di dalam saku rok ku. Aku melihat ke arah luar jendela dan melihat Ari yang  dengan santainya, berjalan di sepanjang koridor sekolah dengan tegap dan begitu terlihat sumringah di depan adik adik kelasnya, seolah ia sedang berjalan di atas karpet merah dengan sorak sorakan meriah dari para fans fansnya. Ditatapnya sekilas anak anak kelas satu yang jelas jelas sedang menatapnya dengan tatapan tampang melongo, seakan dia adalah cowok paling ganteng se-Lampung. Aku yang melihatnya dari dalam jendela hanya bisa tertawa geli dan bersukur karna aku tidak sebodoh anak kelas satu.
 “Adek kelasku katarak semua ternyata…!! Cowok kaya gitu dikagumin…!! Weeek.. !!” kataku dalam hati sambil terus meringis.
Diantara anak kelas 3, aku lah yang paling pendiam dan sukar untuk bersosialisasi, terlebih lagi dengan anak laki lakinya. Jangankan dikelas lain, bersosialisasi dengan 1 teman laki laki dikelasku sendiri pun aku tidak pernah bisa. Entah mengapa, aku merasa gugup jika mereka mengajakku bicara. Baru ahir ahir ini saja aku dekat dengan Ari, itupun karna dia memang orang yang supel, dan bisa bersosialisasi dengan siapapun. Setiap hari ia selalu menampilkan wajahnya yang ceria serta senyum manisnya, setiap aku melihatnya dari kejauhan, aku tidak pernah melihat ia sedang bersedih atau pun gelisah, ia selalu bisa membuat teman temannya tertawa bersamanya. Bahkan, dengan melihat ia tersenyum pun, rasa sedih yang ada didalam hatiku seakan hilang dan aku dapat menatapnya dengan senyum. Hari ini aku harus menyelesaikan cerpenku untuk dikirimkan dalam kompetisi menulis yang akan ditutup hari rabu besok. Aku tidak terlalu berharap aku menang dan aku tidak berharap aku jadi yang pertama. Cukup jadi salah satunya. Itu yang terpenting. Setidaknya, aku sudah berusaha jadi pertama kan? .
Ketika jam istirahat biasanya kelasku selalu selalu saja rusuh, ada yang membuat kelompok lalu mereka ngobrol sejadi dan seserunya, ada yang membawa bekal makanan dari rumah lalu makan bersama, sedangkan semua anak laki lakinya bergerombol didepan kelas lalu salah satu memainkan gitar, sisanya bernyanyi sekeras mungkin. Aku yang merasa risih pun keluar kelas membawa pena dan buku berisi kumpulan cerpen dan puisi puisiku yang sudah lama aku tulis semenjak aku duduk di bangku sekolah kelas satu SMA. Aku duduk di tepat didepan lapangan basket. Tanpa ku sadari ternyata ada Ari disana, dan dia sendirian. Dia tampak dengan gesit mendribble bola dan melemparkannya ke dalam ring. Bola itu masuk dengan sempurna !! dia mengalihkan pandangannya ke arahku dan tersenyum ketika ia tahu aku sedang memperhatikannya dari jauh. Aku yang seakan ikut merasakan kepuasan yang dirasakan Ari pun membalas senyumnya lalu menundukkan kepalaku.
     “Yaampun.. lesung pipinya buat aku deg deg’an..! kenapa dia berubah jadi Taylor Lautner ketika dia bermain basket?? Cool !!” kata ku sambil senyum senyum ngga karuan.
Aku hanya bisa menundukkan kepala ku tanpa berani menatapnya lagi. BRAAKK!!
 “Aduuuh…!!” . Bola basket yang menghantam kepalaku terasa membuat pandanganku kabur, kepalaku terasa berat dan semua tampak berkunang kunang.
 “Ayo ke UKS” kata Ari sambil mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku hanya mentapnya dengan tatapan penuh kebencian sambil mengerutkan keningkangku, lalu pergi dari hadapannya tanpa sebuah kata kata. Ia hanya terdiam dengan tatapan dinginnya. Bulan bulan terahirku di kota Lampung ini seakan membuatku tertekan dan memaksaku untuk sesegera mungkin meninggalkan kota ini. Sekian lama aku memperharikan Ari disetiap hariku, aku baru sadar, ternyata dia juga tipe orang penyendiri. Tapi dia tetap saja bisa menyembunyikan perasaannya walaupun dia dalam keadaan sendiri, dia masih bisa tersenyum ketika ia sendiri, bahkan ia masih bisa tertawa ketika ia bersedih. Seperti menangis dalam tawa, dan tersenyum dalam duka, mungkinkah itu dia ??
Tahun ini sekolahku mengadakan perayaan natal, dan aku memilih untuk tidak mengambil bagian dalam perayaan natal itu. Beberapa teman temanku yang lebih eksis pasti sudah ambil bagian dalam perayaan natal itu dan aku memilih menjadi penyimak teater natal kali ini. Sebuah panggung sederhana telah dirancang khusus lengkap dengan dekorasi Natal berupa lonceng, bintang dan kertas warna merah hijau pun turut menghiasi background panggung yang sederhana itu. Pohon natal dengan hiasan berupa boneka santa claus yang menggantung di ujung ujung pohon cemara itu terlihat lebih berwarna warni ketika kerlap kerlip lampu yang menerangi pohon natal itu di pasang berputar mengelilingi pohon natal secara spiral. Besok acara perayaan natal pasti akan berlangsung meriah, apalagi yang menjadi tokoh tokoh dalam drama teaternya adalah teman teman sekelasku, aku rasa natal esok akan menjadi meriah bagi mereka yang merasa hari itu adalah hari specialnya, tapi bagiku, apa hari esok adalah hari yang special? Bagiku sama saja. Selalu berjalan monotun dan terkesen biasa saja. Tak kan ada yang special di natal tahun ini. 17 Tahun aku tinggal di Lampung, aku tidak pernah merasakan ada yang special ketika malam natal natal ataupun ketika natal di 25 Desember. Tak sedikit dari teman temanku yang telah menyiapkan segala sesuatu tentang natal, termasuk baju baru. Aku hanya mendengar mereka selalu bicara tentang shopping, shopping dan shopping. Atau “ eh.. baju lo gimana?” , “bahannya dari kain apa?” , “beli dimana?” , “murah banget… nyesel deh ngga sama lo kemarin” . Sungguh persis seperti kumpulan tante tante yang sibuk berbincang tentang arisan. Setelah penataan panggung untuk hari natal selesai, aku langsung pulang tanpa mau berkumpul berkumpul dengan panitia natal, lalu berfoto di atas panggung, dan melakukan hal hal lucu yang semakin membuat waktuku terbuang. Aku pulang melewati jalan yang setiap harinya ku lalui, melewati 3 polisi tidur, 1 turunan, 3 perempatan dan 1 jembatan. Jembatan yang selalu aku singgahi ketika aku ingin menyindiri. Dan sudah 2 minggu ini aku tidak berkunjung ke jembatan itu karna hari hariku disibukkan menulis novel dan cerpen yang harus ku kirimkan secepatnya.
24 Desember. Dan ini adalah sore menjelang malam Natal. Sore ini, dengan dress merah, sepatu high hill putih, serta jepit kecil berwarna hijau yang menghiasi rambutku, aku duduk sendiri dideretan paling depan, tepat di depan mimbar gereja. Aku datang terlalu pagi. Bangku – bangku panjang yang berjejer masih terlihat kosong, dan belum banyak jemaat yang datang. Aku hanya meluruskan pandanganku kedepan, ke arah mimbar.
“Selamat Natal”
Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah suara itu. Dan aku melihat senyum manis itu lagi. “Ari..??” . Mataku terbelalak melihat Ari yang tampil kece sekecenya cowok !
“Boleh saya duduk disini ?? “ katanya sambil tersenyum menatapku. Dan kali ini dia tidak menggunakan bahasa lo lo gue gue’nya.
“Emm.. iya.. iya.. duduk aja..” jawabku dengan ekspresi yang sedikit gugup. Dia duduk disampingku lalu menundukkan kepalanya, dan ia berdoa. Aku menatapnya diam diam ketika ia berdoa. Dan… kenapa jantungku jadi berdetak lebih keras sekarang ?? . Dia membuatku benar benar tak berkedip sedetik pun. Dengan jas, dan kemeja putih serta dasinya yang berwarna biru, membuat penampilannya lebih rapih dibanding pakaiannya di sekolah. Apa yang dia panjatkan di dalam doanya, sehingga dia berdoa begitu lama ?? Dan kenapa dia harus duduk disampingku?? . Aku menundukkan kepalaku sejenak dan berusaha untuk tidak menatapnya lagi.
“Eheemm.. udah berdoa belum pagi ini “ katanya membangunkan lamunanku.
“Udah kok Ri, “ jawabku singkat.
“Bagus deh..”
“Apa harapanmu di natal tahun ini ?? “ Tanya ku. Masih dengan senyum.
“Eh.. itu rahasia gue dong !! ngapain tanya – tanya !!? kepo deh ! “
Ingin rasanya aku lempar wajahnya dengan sepatu hak tinggiku ketika ia menjawab dengan cetus. Namun aku hanya mengerutkan keningku tanpa mau melanjutkan pembicaraanku lagi. Pria ini memang labil, aku kira sifatnya bisa berbeda ketika dia di dalam gereja, tapi ternyata sama saja. MENYEBALKAN !!!
“Besok ke sekolahnya bareng gue ya..” kata Ari sambil menghadapkan wajahnya ke arahku.
“ emang ada apa disana”
“Ih.. Dasar tua !! pikun lo ye, hari natalan sekolah “
“Oh. Iya. “ jawabku dengan tampilan wajah yang sok cool.
Sepanjang perjalanan kebaktian pagi ini, aku dan dia sama sama mencuri – curi pandang. Entah apa yang dia pikirkan. Yang jelas aku malu. Sampai kebaktian berahir pun dia masih sering memandangku disetiap kesempatan.
“yuk berangkat..” kata Ari sambil menarik tanganku seusai kebaktian natal selesai.
Jantungku langsung berdetak ketika ia menarik tanganku dan mengajakku ke sekolah dengan motor Vespa pink yang setiap harinya ia gunakan sebagai kendaraan wajib kemana pun ia pergi.
“haa?? Pake vespa pink kamu ini?? Gila ! udah kece gini, masa naek vespa? “ protesku
“Cerewet deh ! Cepet naek ! 1 menit nyampe kok tenang aja! “
Suara vespa yang begitu jadul itu membuatku tertawa sepanjang perjalanan. Membuatku tertawa geli dan menikmati perjalanan ini. Pria berjas dengan dasi biru dan celana dasar serta sepatu hitam yang tampak rapi mengendarai vespa pink.
‘Eh… kok belok ke arah rumah gue ?? Lo mau kerumah gue ? Emang ko tau rumah gue ? “ kataku setelah tau kalo jalan yang dia lalui adalah jalan ke arah rumahku. Dia berhenti di perempatan rumah ku lalu berhenti.
“Turun..” kata Ari menyuruhku turun lalu  mematikan motor vespanya.
“Eh.. apa apaan ? Mau mempir kerumah gw ? “
“gw aja ngga tau rumah lo”
“Terus ngapain kesini?”
“Tutup mata..” katanya.
Jantungku yang benar benar berdetak tidak karuan makin dibuatnya tidak stabil. Apa yang sebenarnya dia lakukan ?? . Dia melepas dasinya perlahan lalu menyuruhku menutup mata. Aku benar benar tidak mampu lagi berkata kata, dingin, takut, dan jantung ini semakin keras berdetak. Aku menutup mataku lalu dia pindah ke arah belakang badanku.
“Ikutin aku ya..”  katanya.
Lalu ia menutup mataku dengan kedua tangannya dari belakang tubuhku. Dia masih menuntunku dari belakang tubuhku dengan posisi badan yang begitu dekat denganku, hingga bau parfumnya pun tercium begitu jelas dari belakang.
“Semakin dekat..” katanya.
Aku tetap berjalan mengikuti langkahnya. Aku mendengar suara gemericik air, dan aku mengenal suara ini. Sinar matahari sore ini terasa hangat di kulitku. Langkahnya berhenti lalu ia menyuruhku membuka mata. Yaa… Jembatan itu. Aku dan dia berdiri tepat di tengah jembatan gantung itu.
“Ini tempatku menyendiri” katanya sambil menatap ke bawah jembatan, melihat sungai yang begitu bergemericik itu. Aku terdiam. Aku hening sejenak menatap sekitar jembatan ini. Mengapa aku tak pernah sadar ada orang lain yang sering menyendiri disini selain aku ?? . Matahari orange yang sebentar lagi terbenam di ufuknya, memberikanku kehangatan sore itu. Air yang mengalir itu tampak berkilau kilau seperti serpihan berlian. Sesekali aku menatap Ari yang masih terdiam membisu. Dia berdiri tepat di sampingku. Aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Aku membuka alkitabku dan mengambil secarik kertas pink yang sudah kusut. Aku membaca tulisan yang ada di dalam kertas itu.
     “Ketika kamu tersenyum ketika itulah aku terluka. Terluka karna perjuanganku untuk memiliki senyum itu hanyalah sia sia” .
Dengan wajah yang masih terarah ke arah sungai itu, dia tersenyum kecil. Aku dan dia sama sama melihat ke air yang bergemericik itu. Sekali lagi, dia menggandeng kedua tanganku, dan menghadapkan wajahnya persis di depan wajahku lalu mengambil kertas itu dari genggaman tanganku dan membuangnya kearah sungai itu. Jantungku yang masih berdetak keras pun kini berdetak semakin keras. Tangan ku dingin dan mulutku membisu, seakan semuanya beku dan tidak dapat bergerak. Aku tertunduk. Aku takut melihat matanya yang begitu tajam menatapku dalam dalam. Dia menyentuh bagian bawah daguku dengan telunjuknya lalu meluruskan pandanganku tepat ke arah wajahnya. Dia tersenyum.
“ Aku tidak lagi terluka karna tidak dapat memiliki senyum itu.. “ katanya.
Kini wajahnya semakin dekat dengan wajahku.
“Bisakah kamu menatap mataku..? Lihat.. apa mata ini berbohong tentang perasaan itu ?” katanya lagi.
Aku masih terdiam membisu. Semuanya beku. Tanganku dingin, kakiku seolah tak kuat lagi berdiri.
“Aku sayang kamu Rin.. Boleh aku tinggal di dalam ruang hatimu??”
Detik itu pula, jantungku seakan berhenti berdetak. Aku bingung, karna aku tak dapat lagi berkata kata. Untuk sesaat, aku menghela nafasku dan berusaha rileks. Tangannya masih mengandeng tanganku dan kini dia menggandeng tanganku erat erat, lalu meletakkannya di dadanya.
“Apa tanganmu bisa merasakan detak jantungku juga?? Rasanya seperti ingin meledak ketika seorang pria menunggu jawaban wanita yang selama ini benar benar ia cinta”
Aku benar benar merasakan detak jantungnya berdetak begitu kencang, apa detak jantung nya seirama dengan detak jantungku?? Aku kembali terdiam. Hanya suara gemericik air yang mengalir dan hembusan angin yang seakan membelaiku dengan lembut hingga menghembuskan rambut panjangku yang tergerai lembut. Ingin ku jawab “ YA” namun bibir tak kuat lagi bicara.  Namun kali ini aku beranikan diri untuk bicara.
“Aku melihatmu dari jauh, menatapmu diam diam, mengagumimu diam diam, mencintaimu diam diam, seperti pencuri yang selalu mengintai sebuah hati untuk dimasuki dan berharap aku dapat mencuri hatimu. Tapi sepertinya kamu sudah terlebih dahulu tau bahwa selama ini aku selalu mengintaimu dari jauh… dan pada ahirnya, kamu yang mencuri hatiku “ jawabku dengan senyum.
“Jadi ?? “
“Tinggallah disini… Dihatiku.. “ jawabku sambil membalas senyumnya dengan mata yang berbinar binar.
Dia melebarkan senyum manisnya dengan sempurna, dan kali ini lesung pipi disebelah kirinya terlihat begitu jelas di depan mataku.
“Dan sekarang.. aku bakal pastiin kamu ngga akan sendiri lagi !! aku bakal temenin kamu berangkat sekolah, di sekolah, pulang sekolah, kemanaaaaa aja pokoknya bakal aku temenin !! “ katanya sambil tertawa bahagia.
Aku hanya tersenyum melihatnya tertawa bahagia. Matahari yang mulai terbenam separuh, membuat suasana sore itu mulai gelap. Aku dan dia sama sama berdiri menghadap matahari orange itu menunggu detik detik terbenamnya senja di ufuk barat. Ari menatapku lalu memeluk ku dari samping. “ Merry Christmas sayang… J “ Lalu ia menyibakkan poniku, menatapku, lalu mencium keningku. Aku hanya terdiam sambil memejamkan mataku di dalam pelukan hangatnya.
“Lampung, 24  Desember 2012 . Kita ukir di pohon ini yaa..” katanya sambil menunjuk pohon mahoni yang ada di sebrang jembatan itu.
“Nanti kalo aku di Medan, kamu jangan nakal disini. Tunggu aku disini ya.. di Lampung in love aku janji pasti aku bakalan balik lagi kesini” Ari tersenyum, sambil mengacungkan jari kelingkingnya. “Janji ya” katanya. Aku mengangguk lalu mengacungkan jari kelingkingku dan menggandeng jari kelingkingnya. Lengkung senyum dibibirnya terlihat begitu sempurna, seakan menandakan kebahagian yang sama seperti yang aku rasa.
Ini tahun pertamaku mendapat kejutan natal. Yaa.. Lampung, 24 Desember. Adalah tempat dan tanggal teristimewa. Karna aku yakin matanya tak akan pernah berbohong. Pada ahkhirnya, Tuhan memberiku teman. Aku tak lagi berjalan menyusuri jalanan itu sendirian, aku tak lagi ke jembatan itu sendiri, dan aku tak lagi menatapnya dengan diam diam. Aku akan tetap menunggunya disini ketika ia melanjutkan kuliahnya di Medan nanti. Aku yakinkan hati ini, karena aku tidak salah melihat matanya. Dia yang mewarnai hariku dengan warna warni crayon hidup. Menghapus kesendirianku, dan memberikanku makna Natal yang akan terus terukir disini. Dihatiku, dihidpku. Dan akan terus terlihat disini. Dipohon ini . Di Lampung in Love.